Menurut Donni, untuk spesies yang tidak dilindungi secara khusus berdasarkan undang-undang No 5 Tahun 1990.
Peraturan karantina memberikan perlindungan kepada spesies ini karena pengangkutan semua satwa liar memerlukan sertifikat kesehatan, yang diberlakukan oleh Undang Undang Karantina.
Penjatuhan hukuman terjadi sejak November 2019, dengan 23 kasus pengadilan tercatat terhadap 30 pelanggar, dengan denda tertinggi sebesar Rp 100 juta dan hukuman penjara paling lama 16 bulan.
Undang-Undang Karantina No. 21 (2019) yang telah diperbarui dengan hukuman paling berat yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar, yang menyoroti pentingnya hal ini bagi burung yang dilindungi dan tidak dilindungi.
“Kemudian, pasca periode analisis, yaitu dari Januari 2022 hingga Agustus 2023, kami mencatat tambahan 45.524 burung yang disita dari 62 insiden, yang menandakan adanya tekanan terus-menerus dari perdagangan burung terhadap spesies liar,” tambahnya.
BACA JUGA:Ratusan Kebakaran di Bandar Lampung, Ini Penyebabnya
Dalam periode tersebut, setidaknya ada 25 orang lagi yang terlibat dalam 13 insiden perdagangan burung hidup berhasil divonis bersalah.
Peran lembaga penegak hukum kini semakin penting dalam melawan perdagangan burung liar di Indonesia.
Donni menambahakan, merekomendasikan penguatan tindakan pencegahan seperti patroli di habitat burung, pengawasan lebih ketat terhadap para pedagang illegal dan perubahan perilaku konsumen.
Kemudian, Identifikasi spesies yang akurat juga penting untuk menentukan di mana spesies yang dilindungi terlibat dan untuk menentukan dari mana spesies tersebut berasal.
BACA JUGA:Mau Tahu Kegiatan BKPSDM Selama 2023? Ini Pemaparannya!
"Ya, karena bus mempunyai peranan penting dalam penyelundupan burung, koordinasi lanjutan dengan perusahaan bus perlu dilakukan untuk mencegah pengemudi mereka menerima kiriman ilegal," pungkasnya. (*)