JAKARTA – Prospek ekspor Indonesia pada semester II-2025 diperkirakan menghadapi dua arah berlawanan. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai kinerja ekspor akan mendapat dukungan dari kemitraan dagang baru, tetapi berpotensi tertekan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
Menurut Josua, penyelesaian perjanjian dagang strategis Indonesia–Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) membuka peluang besar bagi ekspor ke pasar Eropa. Kesepakatan ini menghapus tarif hingga 98% pos tarif dan 99% nilai impor, menguntungkan sektor padat karya seperti alas kaki, tekstil dan produk tekstil (TPT), perikanan, makanan olahan, serta produk pertanian dan kehutanan.
’’Produk padat karya akan mendapat dorongan signifikan dari pembebasan tarif, apalagi pasar Eropa memiliki potensi permintaan yang besar,” ujar Josua, Selasa (12/8).
Namun, kebijakan tarif resiprokal sebesar 19% yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump menjadi ancaman. Kebijakan yang mulai berlaku 7 Agustus 2025 ini mengancam ekspor sejumlah produk unggulan Indonesia, seperti HS 61 & 62 (pakaian dan aksesori), HS 64 (alas kaki), HS 94 (furniture), HS 03 & 16 (ikan dan olahan ikan), serta ban karet HS 40 yang terkena tarif otomotif 25%.
"Kondisi ini berisiko menekan daya saing ekspor, terutama karena AS menyerap porsi signifikan dari produk padat karya tersebut," imbuhnya.
Josua memperkirakan industri pertanian dan pengolahan masih berpeluang tumbuh positif berkat permintaan dari pasar non-AS, manfaat perjanjian dagang baru, serta potensi negosiasi penurunan tarif AS untuk produk yang tidak bersaing langsung, seperti CPO, kopi, kakao, dan karet.
’’Strateginya adalah mengakselerasi penetrasi pasar Eropa dan Asia, mengoptimalkan fasilitas IEU-CEPA, serta memperkuat daya saing melalui sertifikasi dan standardisasi produk sesuai regulasi negara tujuan,” kata Josua.
Kinerja ekspor Indonesia pada semester I-2025 tumbuh 7,7% yoy menjadi USD135,41 miliar dari USD125,73 miliar pada semester I-2024. Negara tujuan utama ekspor Indonesia masih Tiongkok, disusul AS, India, Jepang, dan Malaysia.