Harga Minyak Dunia Naik 3 Persen Imbas Ketegangan Iran-Israel

Jumat 20 Jun 2025 - 20:13 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto

JAKARTA – Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel kembali mengguncang pasar energi global.
Harga minyak mentah dunia melonjak hampir 3 persen pada Kamis (19/6) setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan militer meningkatkan serangan terhadap target strategis di Iran, termasuk fasilitas pemerintah di Teheran.
Harga minyak Brent, sebagai patokan global, naik sebesar USD 2,15 atau 2,8 persen dan ditutup di level USD 78,85 per barel. Ini menjadi posisi tertinggi sejak Januari 2025.
Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) sempat menguat hingga menyentuh USD 77,58 per barel. Lonjakan ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan pasokan.
Peningkatan harga minyak terjadi seiring eskalasi agresi militer Israel. Serangan itu dilakukan setelah rudal Iran dilaporkan menghantam sebuah rumah sakit di Beersheba, Israel selatan.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menegaskan serangan tersebut bertujuan untuk “melemahkan rezim ayatollah.”
Situasi ini memicu kekhawatiran bahwa konflik dapat meluas dan mengganggu stabilitas kawasan, khususnya di sekitar Selat Hormuz—jalur vital yang dilalui sekitar 20 persen pasokan minyak dunia.
Namun, pada Jumat pagi (20/6/2025), harga minyak sedikit terkoreksi setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan keputusan terkait aksi militer terhadap Iran baru akan diambil dalam dua pekan ke depan.
Pernyataan Trump ini meredakan kekhawatiran pasar akan serangan dalam waktu dekat, sehingga harga Brent turun ke USD 76,90 per barel. Adapun WTI bertahan di USD 75,61 per barel.
Volatilitas harga minyak pekan ini sangat tinggi, dengan fluktuasi hampir mencapai USD 8 per barel. Analis menyebutkan, ekspektasi pasar terhadap konflik ini bahkan menyamai ketegangan saat invasi Rusia ke Ukraina.
Meski belum ada gangguan langsung terhadap infrastruktur ekspor minyak Iran, terminal utama seperti Kharg Island dilaporkan masih beroperasi penuh. Hal ini menunjukkan Iran tengah mempercepat pengiriman minyak mentah.
Di sisi lain, Gedung Putih menyatakan peluang negosiasi dengan Iran masih terbuka. Faktor ini ikut menurunkan premi risiko serangan dalam jangka pendek.
Meski demikian, analis memperkirakan harga minyak dunia akan tetap berada dalam rentang fluktuatif USD 70–80 per barel, tergantung pada perkembangan konflik dan respons dari negara-negara besar.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memperingatkan pelaku industri dalam negeri untuk segera mengantisipasi dampak meluas dari konflik militer antara Iran dan Israel terhadap sektor manufaktur nasional. Eskalasi konflik tersebut telah memicu gejolak global, terutama pada harga energi, biaya logistik, serta tekanan terhadap ekspor dan nilai tukar.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa industri Indonesia sangat rentan terhadap gangguan pasokan energi dan bahan baku akibat ketergantungan impor, terutama dari kawasan Timur Tengah yang kini berada dalam ketegangan geopolitik tinggi.
“Efisiensi energi menjadi kunci sekaligus mendukung kedaulatan energi yang menjadi salah satu program utama Presiden Prabowo,” ujar Agus, Rabu (18/6).
Kemenperin mendorong pelaku industri untuk mulai mendiversifikasi sumber energi dengan memanfaatkan potensi dalam negeri, seperti bioenergi, panas bumi, dan limbah industri sebagai alternatif bahan bakar. Upaya ini dinilai penting untuk menekan ketergantungan pada energi fosil impor yang kian berisiko.
Lebih lanjut, industri diminta ikut memperkuat ketahanan energi nasional melalui pengembangan produk-produk pendukung, seperti mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen energi terbarukan.
Di sektor pangan, Agus menekankan pentingnya hilirisasi agroindustri sebagai respons atas lonjakan biaya logistik global dan gejolak kurs yang berdampak pada harga bahan pangan impor. “Industri harus berperan aktif dalam memproses hasil pertanian dan perikanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku impor,” urainya.
Pemerintah juga mendorong pemanfaatan fasilitas Local Currency Settlement (LCS) dari Bank Indonesia sebagai alat untuk meredam dampak fluktuasi nilai tukar terhadap biaya input produksi.
Krisis di Timur Tengah juga memperlihatkan kerentanan rantai pasok global. Gangguan di Selat Hormuz dan Terusan Suez telah memaksa pengalihan rute pengiriman, menambah waktu tempuh hingga 15 hari dan meningkatkan biaya logistik hingga 200 persen. Sektor otomotif, elektronik, tekstil, dan baja menjadi yang paling terdampak akibat kelangkaan komponen dan lonjakan ongkos transportasi.
Sektor nikel dan baja, yang krusial bagi energi masa depan, juga terancam dengan potensi kerugian ekspor hingga USD1,2 miliar karena keterlambatan pengiriman batubara. Selain itu, sektor pangan menghadapi lonjakan harga gandum dan pupuk akibat gangguan pasokan dari Timur Tengah, yang dapat menurunkan hasil panen padi sebesar 10-15 persen dan menghambat swasembada pangan nasional.
Agus menilai situasi ini sekaligus menjadi momentum strategis untuk mempercepat hilirisasi dan membangun kemandirian industri. “Hilirisasi bukan sekadar soal nilai tambah ekonomi, tapi juga soal kedaulatan energi dan pangan Indonesia,” tegasnya.
Memanasnya konflik bersenjata antara Israel dan Iran hingga hari keenam menuai kekhawatiran dari pelaku industri dalam negeri. Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman menyampaikan bahwa ketegangan geopolitik tersebut berpotensi besar mengganggu pasokan bahan baku utama dan jalur logistik industri makanan dan minuman di Indonesia.
“Konflik ini sangat mengganggu. Bukan hanya dari sisi keamanan global, tapi juga akan berdampak langsung terhadap pengapalan bahan baku kami,” ujar Adhi.
 Menurut Adhi, kekhawatiran utama terletak pada potensi lonjakan biaya logistik, seperti yang pernah terjadi dua tahun lalu ketika ketegangan serupa di kawasan Timur Tengah memicu lonjakan ongkos kirim hingga lima kali lipat. Ia menilai kondisi serupa bisa terulang, apalagi jika rute pelayaran global terganggu oleh konflik berkepanjangan.
“Waktu itu, biaya logistik sempat melonjak empat sampai lima kali lipat. Dan sekarang kami khawatir hal serupa akan terjadi lagi,” ungkapnya.
Adhi juga memperingatkan bahwa beban biaya tersebut kemungkinan akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga jual produk makanan dan minuman, apabila tidak ada perbaikan kondisi dalam waktu dekat.
Terkait langkah mitigasi, Adhi mengaku bahwa industri saat ini berada dalam posisi sulit untuk melakukan tindakan konkret, selain berharap adanya perbaikan situasi global. Namun, dia menegaskan pentingnya mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku sebagai strategi jangka panjang.
“Memang kami belum bisa berbuat banyak saat ini. Tapi harapan ke depan, ketergantungan terhadap impor harus semakin dikurangi agar industri kita lebih mandiri,” ujarnya. (disway/c1/abd)

Tags :
Kategori :

Terkait