Pendekatan Berhenti Merokok Tak Cukup Hanya Konseling
DATA Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menunjukkan jumlah perokok aktif di Indonesia kini menyentuh angka 70 juta jiwa, termasuk 7,4 persen remaja usia 10–18 tahun. Meski prevalensi merokok secara persentase menurun, angka absolut justru meningkat, terutama di kelompok usia dewasa muda dan perokok pemula.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pendekatan berhenti merokok tak bisa hanya mengandalkan konseling semata. Diperlukan intervensi medis, seperti Terapi Pengganti Nikotin (NRT) untuk meningkatkan efektivitasnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan memproyeksikan prevalensi merokok di Indonesia bisa melonjak hingga 37,5 persen pada 2025 jika tidak ada intervensi serius.
Sebagai respons, Kemenkes RI bersama Kenvue dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) meluncurkan Gerakan Berhenti Merokok untuk Indonesia Sehat dalam rangka memperingati Hari Tanpa Tembakau. Kampanye ini mendorong pemanfaatan pendekatan berbasis bukti ilmiah dalam upaya berhenti merokok.
“Meskipun prevalensi merokok secara persentase menurun, jumlah absolut perokok justru meningkat, terutama pada kelompok usia di atas 15 tahun dan perokok pemula. Pengguna rokok elektronik juga meningkat 10 kali lipat pada 2023,” ujar Direktur Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi, Rabu (11/6).
Nadia menegaskan bahwa gerakan berhenti merokok yang didukung komunitas, masyarakat, dan sektor swasta akan memperkuat perlindungan terhadap generasi muda Indonesia.
Menurut Nadia, strategi industri tembakau seperti iklan, sponsor, rasa menarik, dan harga murah, turut memicu paparan tembakau pada anak dan remaja. Tak hanya merusak kesehatan, rokok juga menyedot biaya ekonomi yang besar.