JAKARTA– Deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025 menjadi sinyal serius bagi perekonomian Indonesia yang sejak awal tahun telah menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Sejumlah indikator turut mengonfirmasi tren ini, seperti menurunnya surplus neraca perdagangan menjadi USD150 juta dan melambatnya pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 menjadi 4,87%, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,02%.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai deflasi ini sudah dapat diprediksi sejak awal tahun, karena minimnya aktivitas ekonomi yang bisa menjadi pendorong pertumbuhan. Tidak seperti tahun sebelumnya yang diwarnai euforia pemilu, tahun ini justru didominasi oleh kebijakan yang bersifat kontraktif.
"(Situasi) Ini kan diawali sejak akhir tahun setelah presiden dilantik, kemudian ada kebijakan pemangkasan anggaran dengan dalih efisiensi, padahal itu sebenarnya adalah relokasi anggaran. Ini karena kebijakan pemerintah yang bersifat kontraksi," tegas Esther kepada Beritasatu.com, Selasa (3/6/2025).
Menurutnya, deflasi yang terjadi bukan sekadar normalisasi harga pascalebaran, melainkan akibat melemahnya daya beli masyarakat dan minimnya stimulus terhadap sektor industri.
Lebih lanjut, Esther memperingatkan bahwa deflasi dapat memicu efek domino terhadap sektor ketenagakerjaan, termasuk gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia mencatat bahwa PHK telah terjadi di beberapa sektor industri, seperti manufaktur, sektor swasta, dan jasa.
"Pasti (ada gelombang PHK) kalau tidak ada kebijakan yang berpihak. Karena paket kebijakan yang digelontorkan pemerintah, saya lihat enggak terlalu membantu, karena hanya mendorong konsumsi rumah tangga. Di sisi lain, tidak ada paket kebijakan yang mendorong industri biar bisa lebih bernapas seperti relaksasi pajak. Karena kalau tidak, industri akan melakukan efisiensi seperti lay off atau PHK. Ini sudah terjadi di industri manufaktur, private, dan jasa," jelasnya.
Esther menekankan, pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang pro industri dan investasi, agar pelaku usaha tidak semakin tertekan dan bisa tetap mempertahankan tenaga kerjanya.