Setelah berselancar di internet untuk mencari nilai tambah dari batok kelapa, Julio memberanikan diri untuk membuat briket.
Dia pun memanfaatkan platform media sosial, seperti Facebook hingga LinkedIn, untuk memasarkan produk buatannya kepada perusahaan asing.
“Dari sana aku berkembang sampai punya pabrik. Lalu aku punya pemikiran kalau ini (hilirisasi) gak boleh diadopsi aku sendiri. Akhirnya aku melakukan edukasi di masyarakat, terus mendirikan komunitas Bisa Ekspor,” ujar Julio.
Komunitas Bisa Ekspor, yang kini beranggotakan 1,3 juta orang dari Generasi Z, menjadi platform bagi Julio untuk mendekatkan anak muda dengan hilirasasi.
BACA JUGA:Enam Puluh Dosen PTK Ikuti ToT PMB di UIN RIL
Kini, Bisa Ekspor setiap bulannya mampu mengekspor 2.000 kontainer dengan nilai mencapai Rp 400 miliar per bulan.
“Sudah ada 4.000 orang yang melakukan ekspor dari keseluruhan anggota. Success rate-nya 0,3 persen memang masih kecil, karena masih ada 99,7 persen anggota yang belum ekspor," kata dia..
"Tapi, dari 1 orang yang melakukan ekspor, minimal dia bisa dapat Rp200 juta per bulan,” beber Julio.
Selain memberikan nilai tambah secara ekonomis, hilirisasi juga bisa memperkuat daya tahan sosial masyarakat.
BACA JUGA:Putri Zulhas Bakal Kedepankan Kepentingan Perempuan dan Anak
Oleh sebab itu, Julio mendorong pemerintah untuk meramu kebijakan hilirasasi yang ramah bagi masyarakat, khususnya pelaku UMKM.
“Paradigma terjajah itu masih melekat di daerah dan anak muda, sehingga mereka hanya kepikiran untuk tanam dan jual, karena memang menjual barang mentah lebih mudah daripada barang jadi," ujarnya.
"Dengan hilirisasi, misal ada orang asing masuk, mereka bisa menolak (mengekspor barang mentah), mereka bisa lebih resisten,” tambah Julio.
Ihwal kebijakan, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyadari masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi dari peraturan hilirisasi.
BACA JUGA:Aturan EUDR Tak Libatkan Negara Produsen Sawit
Kendati begitu, dia menegaskan bahwa hilirisasi tidak boleh dihentikan.