BANDARLAMPUNG - Perlindungan data pribadi dalam industri keuangan sangat penting untuk mencegah pencurian identitas, penipuan, dan kerugian finansial lainnya. Sebagaimana diketahui bersama, dalam beberapa tahun terakhir, marak terjadi kasus kebocoran data yang terjadi di berbagai institusi.
Bahkan juga terjadi penyalahgunaan dan jual beli data melalui situs online misalnya penyalahgunaan data pribadi dalam transaksi elektronik (e-commerce), perbankan, industri perusahaan teknologi (fintech), perusahaan jasa angkutan online.
Data konsumen dan masyarakat tersebut, dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan berbagai tindak kejahatan seperti penipuan, pembobolan rekening, pemerasan yang menyebabkan kerugian bagi pemiliknya.
Salah satu contoh kasus yang sempat viral pada pertengahan tahun 2024 sekitar 27 pelamar kerja di Pusat Grosir Cililitan (PGC) Jakarta Timur datanya dipakai orang tidak bertanggung jawab untuk pinjaman daring atau online (pinjol).
Polres Jakarta Timur saat ini menyampaikan modus yang dilakukan pelaku berpura-pura menjadi penyalur tenaga kerja di sebuah konter ponsel.
Korban diminta pelaku untuk selfie bersama KTP dengan iming-iming memberi hadiah dan data itu akan digunakan sebagai syarat untuk melamar kerja.
Para korban pun bukannya mendapat pekerjaan malah ditagih-tagih oleh pinjol dengan taksiran kerugian miliaran rupiah.
Ini merupakan tantangan dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah mengubah cara informasi dan data didistribusikan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan distribusi informasi dan data secara cepat.
Transaksi digital yang dilaksanakan secara online dan cepat juga mendorong adanya pertukaran secara instan dan membentuk kumpulan data yang besar dalam bentuk big data.
Pemerintah pun melakukan beberapa upaya untuk melindungi data pribadi masyarakat. Salah satunya adalah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
UU PDP mengatur bahwa orang perorangan termasuk yang melakukan kegiatan bisnis atau e-commerce di rumah dapat dikategorikan sebagai pengendali data pribadi. Sehingga mereka bertanggung jawab secara hukum atas pemrosesan data pribadi yang diselenggarakannya dan memenuhi ketentuan yang ada dalam UU PDP.
Konsep dan ketentuan mengenai perlindungan data pribadi itu sendiri bukanlah hal yang baru bagi sektor jasa keuangan, khususnya perbankan.
Sebab, sebelum diundangkannya UU PDP, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 6/POJK.07/2023 yang mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha memperoleh persetujuan konsumen untuk mengumpulkan dan memanfaatkan data pribadi konsumen.
Terkait hal tersebut, Kepala OJK Lampung, Otto Fitriandy mengatakan, perlindungan data pribadi merupakan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sebab, apabila data pribadi tidak dapat dijaga dengan baik akan menjadi cela bagi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan di industri jasa keuangan.
Otto Fitriandy mencontohkan, masyarakat sering abai menjaga privasi tempat, tanggal, bulan, dan tahun lahir. Juga, terkait nama ibu kandung.