JAKARTA - Pemerintah telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2024 naik. Ada tiga variabel yang menjadi dasar dari kenaikan UMP 2024 yang ditetapkan masing-masing gubernur, yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Namun dari hampir seluruh UMP 2024 yang telah diumumkan, tidak ada satu pun pemerintah provinsi (pemprov) yang mengumumkan kenaikan mencapai 10 persen. Paling tinggi hanya 8,73 persen yang ditetapkan di wilayah Sulawesi Tengah.
Terkait itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengaku kecewa dengan keputusan para gubernur yang menetapkan UMP 2024 di bawah 10 persen. Secara rata-rata, kenaikan upah minimum di 33 provinsi hanya 3,84 persen.
Bhima menilai, idealnya kenaikan UMP 2024 di atas 10 persen. Jika lebih kecil, menurutnya bisa mengancam pertumbuhan ekonomi pada tahun depan, lantaran tergerusnya daya beli di tengah inflasi pangan yang masih tinggi.
“Kenaikan UMP rata rata nasional masih terlalu kecil, idealnya di atas 10 persen melihat tekanan inflasi pangan yang cukup berisiko menggerus daya beli. Inflasi bahan pangan masih tinggi dan diperkirakan tahun depan inflasi pangan yang tinggi berlanjut,” kata Bhima saat dihubungi JawaPos.com, Rabu (22/11).
Lebih lanjut, Bhima menjelaskan bahwa menjaga daya beli pekerja merupakan kunci agar tahun depan, dari sisi ekonomi, RI bisa lebih tahan hadapi guncangan. Terlebih, kata dia, konsumsi rumah tangga masih jadi motor pertumbuhan ekonomi yang akan diandalkan tahun 2024.
“Kalau naiknya upah di bawah 5 persen, buruh mana bisa hadapi inflasi?” imbuhnya.
Bhima juga mengungkapkan, UMP 2024 dengan kenaikan yang terlalu rendah bisa mengancam pertumbuhan ekonomi tahun depan. Menurutnya, akan sulit bagi pemerintah mencapai target pertumbuhane ekonomi di atas 5 persen jiga stimulus utamanya ditetapkan terlalu rendah.
“Sulit ya, (pertumbuhan ekonomi) bisa tumbuh 5 persen tahun depan dengan stimulus upah yang terlalu rendah,” ungkapnya.
Sedangkan dari sisi investor, Bhima pesimistis akan terjadi ekspansi bisnis yang signifikan tahun depan, jika melihat daya beli pasarnya ambruk. “Ini justru memicu investor terutama yang bergerak di sektor consumer goods dan perlengkapan rumah tangga untuk berpikir ulang menambah investasinya. Apalagi tahun pemilu makin banyak yang wait and see dulu,” pungkasnya. (jpc/c1/abd)