JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan pidato Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 di gedung DPR RI, Senayan, Jumat (16/8). Dalam dokumen nota keuangan, disebutkan bahwa penerimaan cukai dalam RAPBN tahun anggaran 2025 diperkirakan Rp244 triliun atau tumbuh 5,9 persen.
Menyikapi target cukai 2025, peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) Malang, Imanina Eka Dalilah, mewanti-wanti agar pemerintah berpikir secara moderat sebelum menerapkan kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) mendatang. Imanina mengingatkan implikasi yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan CHT.
Misalnya dampak ekonomi dan sosial ke masyarakat. Sebab, kebijakan CHT ini bukan soal pendapatan negara maupun kesehatan semata.
"Banyak yang bakal terdampak dari kebijakan CHT di Indonesia, mulai dari tenaga kerja, industri, hingga pertanian," kata Imanina, Senin (19/8).
Berdasarkan hasil kajian PPKE FEB UB (2023), peningkatan tarif CHT tidak serta-merta menurunkan minat merokok masyarakat. Namun justru konsumen cenderung mencari produk rokok yang harganya dianggap memenuhi kemampuan daya belinya.
Oleh sebab itu, setiap kenaikan tarif CHT perlu diiringi peningkatan pengawasan yang semakin ketat terhadap sejumlah perusahaan rokok yang diduga memproduksi rokok ilegal. "Penurunan volume produksi rokok karena merebaknya rokok ilegal tentu merugikan negara," tegasnya.
Diketahui, Ditjen Bea dan Cukai mencatat tingkat peredaran rokok ilegal tahun 2023 mengalami peningkatan menjadi 6,86 persen. Angka itu menunjukkan ada potensi penerimaan negara yang tidak terselamatkan senilai Rp15,01 triliun.
Menurut Imanina, penyebab meningkatnya rokok ilegal dikarenakan kenaikan harga rokok yang cukup tinggi disertai dengan kenaikan tarif CHT setiap tahun. Hal ini mendorong perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok yang terjadi.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 70 persen perokok di Indonesia berasal dari keluarga dengan pendapatan menengah ke bawah. "Sebagian perokok di Indonesia berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah," kata Imanina.