Optimalisasi Perkembangan Anak Usia Dini melalui Penguatan PAUD di Desa Ruktiendah, Kecamatan Seputihraman, Ka

Minggu 11 Aug 2024 - 21:04 WIB
Reporter : Anggi Rhaisa
Editor : Taufik Wijaya

Pada kenyataannya, meskipun pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan penyelenggaraan, PAUD di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan kompleks dan saling terkait satu dengan yang lainnya. 

’’Persoalan tersebut antara lain kuantitas dan kualitas PAUD di Indonesia yang masih rendah," jelas Arif.

Arif juga menginformasikan bahwa berdasarkan hasil analisis Tim Pendidikan untuk Semua Indonesia (dalam Suryani, 2007) tahun 2001, sebanyak 72 persen anak Indonesia usia 0‐6 tahun belum terlayani PAUD dan sebanyak 63,4 persen anak Indonesia usia 4‐6 tahun belum terlayani PAUD. 

Selain itu, masih banyak PAUD yang berada di daerah‐daerah, diselenggarakan hanya bermodalkan fasilitas dan sarana prasarana yang sekedarnya, tanpa memperhatikan aspek perkembangan anak dan stimulasi yang sesuai dengan perkembangan anak. 

Hal tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan PAUD yang diselenggarakan di kota‐kota besar di mana orang tua atau wali murid dituntut membayar mahal atas fasilitas tinggi yang disediakan oleh PAUD tersebut. 

Selain masalah kuantitas dan kualitas PAUD yang masih rendah, persoalan lain yang muncul pada PAUD di Indonesia adalah kualitas guru atau pamong PAUD yang rendah. 

Suyanto (2005) memaparkan bahwa meskipun pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa guru Taman Kanak‐kanak (TK) harus setara dengan program Diploma II atau dua tahun di perguruan tinggi. Namun kondisi di lapangan masih jauh dari harapan. Guru TK yang sudah memiliki ijasah D II PGTK masih kurang dari 10 persen. 

Banyak guru TK berasal dari SPG‐TK, SPG, atau bahkan lulusan SMA dan SMP. Kondisi ini diperparah dengan adanya otonomi daerah. Karena banyak daerah yang kurang mampu untuk mengangkat dan menggaji guru TK, banyak guru TK yang digaji jauh di bawah kebutuhan minimal. 

Kondisi demikian tentunya menyebabkan mutu guru TK dan guru PAUD menjadi rendah, terlebih lagi jika guru PAUD tidak memiliki latar belakang pendidikan yang mendukung keterampilannya untuk mendidik anak usia dini. 

Untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu, tentulah dibutuhkan guru yang bermutu pula. Sebaliknya, bila kualitas guru rendah, maka kualitas anak didik pun akan rendah. Suryani (2007) memaparkan bahwa PAUD bukanlah bidang yang dianggap ringan. 

Perlu orang yang kompeten di bidangnya untuk mendidik anak, karena itu guru PAUD perlu mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai dengan PAUD, agar dapat mengajar dengan baik dan memaksimalkan potensi‐potensi anak. 

Masyarakat banyak yang menganggap bahwa mengajar anak usia dini adalah hal yang mudah, sehingga banyak guru atau pamong PAUD kurang maksimal dalam memberikan pendidikan bagi anak usia dini. 

Masih banyak guru PAUD yang tidak mengetahui perkembangan anak, pembelajaran bagi anak usia dini, dan stimulasinya, sehingga sasaran pendidikan anak usia dini dirasakan kurang efektif dan tidak tepat sasaran. 

Akibat dari kekurangtahuan guru PAUD dalam pengelolaan penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini, dapat membuat proses pembelajaran dalam PAUD tersebut berjalan secara kurang optimal. Dampaknya, anak usia dini diberi stimulus yang tidak sesuai dengan karakteristik perkembangannya. 

Misalkan saja, dalam mengenalkan angka pada anak usia dini, guru hanya menuliskan angka di papan tulis, menyebutkannya secara keras, dan meminta anak yang duduk dengan manis di bangkunya untuk menirukan apa yang diucapkan oleh guru. 

Stimulus seperti ini tentunya sangat tidak sesuai dengan karakteristik perkembangan anak usia dini, di mana bermain adalah dunia kerja anak usia pra sekolah (PAUD), dan menjadi hak setiap anak untuk bermain tanpa harus dibatasi usia (Tedjasaputra, 2001). 

Tags :
Kategori :

Terkait