Waspada, Indonesia Beresiko Terjadi Twin Deficit
Josua Pardede, Kepala Ekonom di Bank Permata,-FOTO DOKPRI-
JAKARTA - Josua Pardede, Kepala Ekonom di Bank Permata, memperingatkan bahwa Indonesia menghadapi risiko "twin deficit,".
Ini merupakan sebuah kondisi yang mencakup defisit pada neraca transaksi berjalan dan defisit anggaran fiskal.
Menurutnya, penurunan surplus neraca perdagangan yang diakibatkan oleh normalisasi harga komoditas dan perlambatan ekonomi Tiongkok, mitra dagang utama Indonesia, menjadi faktor utama pendorong risiko ini.
Dalam wawancara terbaru dengan ANTARA di Jakarta, Josua menjabarkan bahwa surplus perdagangan Indonesia telah mengecil.
BACA JUGA:Kemenperin Siapkan Insentif Industri Impor dari Timur Tengah
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa surplus neraca perdagangan barang di bulan Februari 2024 adalah sebesar 0,87 miliar dolar AS, turun dari 2,02 miliar dolar AS di Januari 2024.
Meskipun didukung oleh surplus non migas sebesar 2,63 miliar dolar AS, tren menurun ini memberikan indikasi negatif terhadap neraca transaksi berjalan tahun ini.
Lebih lanjut, Josua mengungkapkan bahwa pendapatan negara juga terpapar dampak serupa karena normalisasi harga komoditas.
Meskipun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatatkan surplus 22,8 triliun rupiah per 15 Maret 2024, dibandingkan periode yang sama tahun lalu, surplus tersebut cenderung menurun.
BACA JUGA:Hasil Uji Kompetensi Seleksi JPTP Pemprov Lampung, Ada Satu Nama Hilang
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan pembiayaan APBN ke depan, mempengaruhi sentimen pasar obligasi di Indonesia.
Menurut data terkini, pada 2 April 2024, kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN) turun sekitar 1,73 miliar dolar AS dari awal tahun.
Meskipun ada net buy di pasar saham oleh investor asing sebesar 1,48 miliar dolar AS, tekanan pada pasar obligasi tetap menjadi perhatian.
Josua menambahkan bahwa untuk tahun 2024, diperkirakan defisit transaksi berjalan akan mencapai minus 0,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), naik dari minus 0,11 persen tahun 2023.