Zakat Fitrah dengan Uang

Sekretaris MUI Bandar Lampung sekaligus Ketua BMI Bandar Lampung, Dr. Abdul Aziz, M.Pd.I.-Foto Ist-

Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar Rum: 39)

Hukum anjuran (sunnah) mengeluarkan zakat ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan obyektif kondisi sosial ekonomi masyarakat muslim pada saat itu.

Mayoritas sahabat Nabi ketika baru hijrah dalam kondisi tidak layak dalam hidupnya karena rata-rata mereka semua meninggalkan harta benda dan kekayaan yang mereka miliki di Mekah.

Karena situasi dan kondisi pada saat itu tidak memungkinkan para sahabat Nabi membawa harta kekayaannya ke Yatsrib. Beruntunglah Sahabat Anshor (orang-orang Yatsrib yang sudah memeluk Islam sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah) menerima dengan tangan terbuka, menyambut dengan keramahtamahan dan bantuan yang luar biasa.

Namun karena jumlahnya yang belum signifikan sehingga belum mampu memenuhi semua kebutuhan hidup sahabat muhajirin secara maksimal.

Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi sosial ekonomi para sahabat Nabi Muhammad SAW terus membaik, tentu karena didukung oleh atmosfer kehidupan di Madinah yang terus stabil dan kondusif. 

Berbagai keahlian dalam bermata pencaharian para sahabat muhajirin dan anshor terus dikembangkan dan disinergikan, mulai dari berniaga baik local maupun antarnegara. Bahkan pula antarbenua dalam berbagai bentuk dan jenis perniagaan, pengembangan pertanian, perkebunan dan lain sebagainya. 

Setelah keadaan kaum muslimin sudah mulai mapan, maka hukum wajib zakat bagi yang telah memenuhi syarat mulai di syariatkan. Pada tahun ke-2 hijriyah, zakat fitrah diwajibkan pada Bulan Ramadan.

Sedangkan, zakat mal diwajibkan pada bulan berikutnya, yakni Syawal. Sesuai dengan Firman Allah SWT. yang diwahyukan di Madinah: “Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah SWT. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah: 110)

Pembayaran zakat fitrah pada masa Rasulullah Muhammad SAW dengan bahan makanan (min tha’amin), mayoritas madzhab mengharuskan pembayaran zakat fitrah dengan makanan pokok (qutul balad), tidak boleh dengan non-makanan pokok, demikianlah mayoritas pendapat hukum (qaul) Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabiyah. 

Adapun Madzhab Hanafiyah membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang dengan landasan normatif Firman Allah SWT dalam Alquran: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92)

Allah SWT memerintahkan untuk menginfaqkan sebagian harta yang kita cintai, mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan atau penghasilan untuk sesuatu yang dianjurkan atau diharuskan dalam ajaran agama Islam. Bentuknya bisa zakat, infaq, sedekah, wakaf dan dana sosial keagamaan lainnya. 

Pada masa Rasulullah Muhammad SAW, harta yang paling dicintai umat Islam adalah bahan makanan. Sedangkan hari ini, harta yang paling dicintai oleh umat manusia adalah uang karena efektifitas dan fleksiblitasnya.

Beras adalah serealia (dikenal juga dengan nama sereal atau biji-bijian, sekelompok tanaman yang ditanam untuk dipanen biji atau bulirnya sebagai sumber karbohidrat) bahan makanan pokok di Indonesia yang lazim digunakan untuk membayar zakat fitrah, sesuai dengan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri RA. 

Artinya: “Dulu pada zaman Rasulullah SAW, kami menunaikan zakat fitrah dengan satu sha’ bahan makanan, dan Abu Sa’id menyampaikan bahwa bahan makanan kami adalah gandum, anggur, keju dan kurma.” (HR. Bukhari)

Tag
Share