PT MFA Miliki Masalah Lain

 Tunggak Material Batu Andesit Rp2,97 Miliar

 

BANDARLAMPUNG - PT Mina Fajar Abadi (MFA) memiliki masalah lain dalam proyek pengerjaan peningkatan pengamanan pantai di Kalianda, Lampung Selatan. Di antaranya perusahaan penyuplai material batu andesit hingga kini belum menerima pembayaran secara penuh dari PT MFA.

Dari informasi diterima Radar Lampung, jumlah yang saat ini belum dibayarkan oleh PT MFA mencapai miliaran rupiah. Decky Eko Saputra selaku Direktur PT Hajar Nusantara Abadi (HANA), perusahaan penyuplai material, pun saat dikonfirmasi membenarkannya. ’’Iya betul, Bang," ucapnya, Jumat (3/11).

            Decky mengatakan perusahaannya tersebut menyuplai meterial sejak awal proyek tersebut dikerjakan. Terhitung sejak Maret hingga Agustus 2023.

            Dalam pembayarannya di perjanjian awal, terang Decky, pihak PT MFA melakukan deposit yang tertuang dalam kontrak. Namun, deposit yang diterima PT HANA baru Rp300 juta yang dibayar di awal. ’’Saya terima deposit itu hanya di awal, cuma sekitar Rp300 juta," jelasnya.

            Setelah itu diungkapkannya bahwa pembayaran seharusnya dilakukan beberapa bulan sekali. ’’Per terminnya sekitar Rp300 juta hingga Rp400 juta," ungkapnya.

            Decky sendiri mengakui bahwa suplai material untuk proyek tersebut sempat diberhentikan. Itu karena biaya yang tidak kunjung dibayarkan oleh PT MFA kepada PT HANA.

Namun, imbuhnya, pihak PT MFA sempat meminta tolong untuk melanjutkan suplai material. ’’Saya sampai bawakan investor sama mereka. Tetapi akhirnya enggak juga terealisasi," katanya.

            Decky mengungkapkan dirinya sampai harus mengeluarkan uang pribadinya dengan jumlah hingga Rp260 juta untuk biaya talangan. Dilanjutkannya, biaya cukup besar yang belum dibayarkan oleh PT MFA terjadi pada beberapa bulan belakangan. ’’Yang tidak terbayarkan ini terakhir yang agak besar, Rp2,97 miliar," ucapnya.

            Padahal, imbuh dia, uang tersebutlah yang seharusnya untuk membayar semua biaya operasional. Mulai membayar gaji pekerja, membayar bahan bakar kendaraan, hingga untuk membayar pajak pertambangan. ’’Di situ ada hak-hak pekerja, hak sopir, hak operator, hak yang punya alat, dan lainnya," jelas Decky.

            Dia bahkan mengatakan bahwa perusahaannya telah mendapat billing atau tagihan pajak. Namun belum dapat melunasinya karena biaya yang belum dibayarkan oleh PT MFA tersebut. ’’Jadi ujung-ujungnya banyak yang jadi korban," tegasnya.

Decky menerangkan tak ada niatan dari pihaknya untuk menghambat pengerjaan proyek breakwater tersebut. Ia sendiri berharap proyek ini dapat segera diselesaikan karena manfaat yang dapat dirasakan masyarakat. ’’Tetapi gimana juga kalau saya terusin kan biayanya juga besar," katanya.

            Untuk itu, dia sendiri bersedia membantu meskipun pihak PT MFA belum melakukan pembayaran secara penuh. Itu diakuinya juga dalam pertemuan mediasi antara kedua belah pihak beberapa hari lalu. ’’Saya bisa bantu, tetapi ya setidaknya dibayar dulu meskipun cuma Rp1 miliar," ucapnya.

            Uang tersebut dikatakannya untuk pembayaran pajak serta gaji pekerja yang genting untuk dibayarkan. Saat ini sendiri diakui bahwa pihaknya belum dapat melanjutkan pekerjaan. Itu dikarenakan tidak memiliki biaya. Terlebih pembiayaan yang sebelumnya juga belum terbayarkan.

Sementara, Bayu yang diketahui sebagai kuasa direktur PT MFA saat akan dihubungi untuk dikonfirmasi Radar Lampung, nomor HP-nya masih dalam keadaan tidak aktif. Sedangkan Hanan selaku staf di PT MFA Pusat tidak merespons panggilan dari Radar Lampung meski HP-nya aktif.

Diketahui, pengerjaan peningkatan pengaman Pantai Kalianda atau breakwater di Desa Banding, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, mangkrak. Proyek senilai Rp42.523.200.000 tersebut dikerjakan PT Mina Fajar Abadi dengan nomor kontrak 02/PKS/AW7.1/2023.

            Adapun waktu pelaksanaannya selama 300 hari kalender hingga Desember 2023 atau dua bulan lagi. Itu sebagaimana tertera pada pelang yang ada di sekitar pengerjaan proyek milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.

’’Sementara, pengerjaan proyek tersebut hingga saat ini baru berkisar 34 persen,” kata Yos Alwin Tyas, salah seorang pekerjanya, kepada Radar Lampung, Kamis (26/10).

            Yos juga menjelaskan bahwa pengerjaan proyek tersebut mulai berhenti sekitar satu setengah bulan belakangan. Sejak saat itu nyaris tidak ada aktivitas atau kegiatan di lokasi pengerjaan proyek breakwater tersebut. ’’Sudah satu setengah bulan ini berhenti," ucapnya.

            Padahal, lanjut Yos, tenggat waktu yang dimiliki PT Mina Fajar Abadi hingga 6 Desember 2023. Itu artinya tidak sampai dua bulan lagi, proyek tersebut harus sudah selesai menurut kontrak yang ada. ’’Batas waktunya kalau enggak salah sampai 6 Desember," bebernya.

            Selain proyek yang mangkrak, PT Mina Fajar Abadi juga menimbulkan masalah lain yang langsung berdampak kepada para pekerja. Di mana sudah hampir tiga bulan terakhir, para pekerja yang sebagian besar warga sekitar tak diberikan gajinya.

            Menurut Yos, setidaknya ada 11 pekerja yang sejak tiga bulan terakhir tidak lagi menerima hak mereka berupa pembayaran gaji. ’’Sudah tiga termin ini kita enggak dapat hak kita. Enggak nerima gaji," tuturnya.

            Yos menerangkan dari 11 pekerja itu jika ditotal, upah mereka bahkan tidak sampai Rp150 juta. Angka yang sangat sedikit dibanding total nilai proyek sebesar Rp42 miliar lebih.

            Ditambahkannya selain para pekerja, diketahui bahwa PT Mina Fajar Abadi juga belum membayarkan uang pembelian sejumlah material. ’’Kalau total dengan material batu itu enggak sampai Rp5 miliar yang belum dibayar," katanya.

Mewakili teman pekerja lainnya, Yos juga mengatakan bahwa telah menempuh beberapa langkah untuk meminta hak mereka kepada PT Mina Fajar Abadi.  Di antaranya melalui pemberitahuan secara lisan. Namun, mereka tak mendapat jawaban memuaskan. ’’Kami cuma dibilang sabar dan sabar aja," katanya.

            Padahal gaji yang hingga saat ini belum dibayarkan, menurut Yos, sangat berarti bagi para pekerja. ’’Pekerja itu kan ada yang pokmas (kelompok masyarakat) dan ada yang linmas. Kami kan cuma berharap upah kami itu dibayarkan. Itu saja," ujarnya.

            Sayangnya beberapa nomor telepon pihak PT Mina Fajar Abadi saat dihubungi Radar Lampung masih belum merespons. Satu di antaranya yang diketahui sebagai pemegang kuasa yaitu Direktur PT Mina Fajar Abadi, Bayu Gumulya. Nomornya bahkan dalam keadaan tidak aktif.

Sementara, Hanan selaku staf PT Mina Fajar Abadi pusat di Jakarta saat dikonfirmasi membenarkan.  "Ya," jawabnya.

Namun ditanya terkait proyek yang mangkrak serta gaji para pekerja yang belum dibayarkan, Hanan menyampaikan persoalan tersebut dikembalikannya kepada Bayu. ’’Kalau soal itu sih saya kembali ke Pak Bayu," katanya.

            Dilanjutkannya bahwa permasalahan yang ada akan diselesaikan Bayu tersebut sebagai pimpinan perusahaan cabang. ’’Itu sih mau diselesaikan Pak Bayu. Karena kami kan ada akta cabang itu. Jadi terkait permasalahan di situ, pemimpin cabang yang menyelesaikan," tutupnya. (rif/c1/rim)

 

 

Tag
Share