Keberpihakan Istana Runcingkan Disintegrasi Bangsa

Muhammad Fath Mashuri-FOTO JAWAPOS.COM -

SEJUMLAH sivitas akademika, mulai dari unsur mahasiswa, dosen, hingga para guru besar dari berbagai kampus negeri dan swasta, menggelar aksi dan kritik keras kepada Presiden Jokowi. Gerakan ini merupakan imbas dari keberpihakan Istana pada perhelatan Pilpres 2024 yang tinggal menunggu hitungan hari menuju 14 Februari.

Proses demokrasi yang berlangsung inkonstitusional, kemudian melanggengkan putra mahkota sebagai calon wakil presiden memunculkan kekhawatiran tentang netralitas dan adanya abuse of power dari Istana. Realitasnya, tentu tidak mengecewakan. Karena terbukti semakin dekat waktu pemilu keberpihakan Istana semakin terang-terangan, ugal-ugalan, dan nir-etika.

Bahkan, data di lapangan menyebutkan adanya indikasi perlakuan diskriminasi penggunaan fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum-fasos) oleh capres-cawapres lain yang tidak di-endorse oleh Istana. Aksi ’’turun gunung” para akademisi dan guru besar dari berbagai universitas merupakan sinyal kuat bahwa pemilu kali ini tidak lagi berada pada koridor yang bermartabat, cenderung mencederai demokrasi, dan rentan meruncingkan disintegrasi bangsa.

Dalam perspektif psikologi sosial, integrasi terjadi ketika kelompok-kelompok yang berelasi mampu menegosiasikan identitas sosial mereka, serta memiliki pengetahuan dan kesediaan memahami perbedaan di dalamnya untuk tumbuh dan berkembang satu sama lain pada tujuan yang lebih besar. Lalu, mengapa keberpihakan Istana menstimulasi disintegrasi kelompok?

BACA JUGA:Gedung UPT Instalasi Farmasi Senilai Rp3,5 M Diresmikan, Ini Kegunaannya!

Pertama, keberpihakan Presiden Jokowi menunjukkan eksklusivitas. Baik itu pada keinginan/tujuan politiknya maupun alokasi sumber daya terhadap salah satu paslon/kelompok. Karena didukung Istana, hal ini mengakibatkan paslon dan para pendukungnya mengalami in-group favoritism.

Yaitu, kondisi ketika mereka menjadi antikritik, mengultuskan figur yang ada pada kelompoknya, sulit melihat kebenaran yang esensial, serta menganggap kelompok lain yang tidak mendukung preferensi Istana berarti tidak menghendaki kemajuan bangsa. Padahal, dengan banyaknya masalah yang belum terselesaikan di dua periode pemerintahannya, tidak ada yang menjamin apakah preferensi Istana melalui Presiden Jokowi saat ini benar-benar berpihak pada rakyat atau oligarki.

Kedua, endorsement Istana kepada salah satu paslon memosisikan adanya kelompok yang terlegitimasi memiliki status tinggi. Jelas bahwa kelompok yang terlegitimasi ini menunjukkan derajat perbedaan yang terlalu rigid. Apalagi disertai dengan asumsi-asumsi, bahkan sebagiannya adalah fakta adanya penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dipersepsikan oleh kelompok lain sebagai ketidakadilan secara distributif dan interaksional. Sehingga paslon lain dan pendukungnya berupaya mencari cara untuk memperbaiki keadaannya dengan mendobrak keabsahan status tinggi dari kelompok yang di-endorse Presiden Jokowi.

BACA JUGA:Pemkot Bandarlampung Hibahkan 10 Mobil ke FKUB, Ini Pesan Wali Kota!

Secara jangka panjang, hal ini turut memotivasi kelompok rakyat lainnya bergerak atas ketidakadilan dan degradasi demokrasi yang dialami. Kontestasi pilpres saat ini tidak lagi tentang pertarungan antarpaslon, tetapi aksi kolektif masyarakat yang menentang tindakan ugal-ugalan Istana. Inilah yang dikhawatirkan menstimulasi disintegrasi bangsa.

 

 

Untuk mencegahnya, apa yang bisa dilakukan? Pada level individual, diperlukan kesediaan para pendukung paslon untuk melakukan dekategorisasi. Secara kognitif, dekategorisasi mengupayakan para anggota kelompok pendukung paslon mengenali kembali adanya diferensiasi di dalam relasi antar-kelompok mereka. Namun, di saat yang bersamaan, mereka juga sadar bahwa sebagai individu mereka punya kendali untuk tidak hanyut dalam dinamika kelompok. Upaya ini membuka kembali ruang berpikir kritis dan interaksi antar-anggota kelompok yang berbeda.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan