Ironi Pungli di Lembaga Antikorupsi

Oleh Kuswandi

PUNGUTAN liar alias pungli, naik kelas. Musababnya, praktik lancung yang biasanya dilakukan oleh sejumlah oknum amtenar saat melayani warga atau di jalanan, kini justru menyeret nama 93 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ironi. Sebab, naik kelas di sini, bukan naik kelas secara positif. Namun justru naik kelas yang negatif.

Pegawai lembaga antirasuah yang seharusnya kebal dari korupsi, justru malah di-knockout (KO) oleh virus yang membudaya di Indonesia itu. Mereka malah ramai-ramai melakukan perbuatan tercela, memanfaatkan jabatan atau kewenangannya di lembaga yang dulu sangat disegani di negeri ini.

Perbuatan buruk yang dilakukan para pegawai lembaga antirasuah ini, sebenarnya sudah ada di tahun-tahun awal lembaga anak kandung reformasi itu berdiri. Namun, jumlahnya sangat minim. Mereka bahkan langsung ditindak tegas ketika ketahuan melakukan perbuatan koruptif.

BACA JUGA:Masuk Asrama 11 Mei, CJH Diterbangkan ke Arab Saudi 12 Mei

Sebagai contoh, kasus pemerasan saksi PT Industri Sandang Nusantara (Insan) yang dilakukan AKP Suparman, penyidik kepolisian yang diperbantukan di KPK pada 2006 silam. Kala itu, tak lama gerak-gerik Suparman terendus oleh koleganya sendiri. Tak lama kemudian, dia langsung ditetapkan tersangka oleh KPK hingga diseret ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor). Atas perbuatannya, AKP Suparman pun kala itu divonis 8 tahun pidana penjara, denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan.

Kini, pelanggaran demi pelanggaran, semakin banyak terjadi. Ironisnya, berbagai pelanggaran yang masif ini, terjadi usai Pemerintah dan DPR berhasil merevisi UU KPK dan pegawai KPK berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Satu persatu kotak pandora kejahatan orang-orang di lembaga anak kandung reformasi itu mulai terbuka.

Ada pegawai atas nama Mustarsidin yang terungkap melakukan asusila terhadap seorang istri dari tahanan. Ada pegawai atas nama Novel Aslen Rumahorbo (NAR), yang terbukti menilap duit perjalanan dinas koleganya hingga mencapai Rp550 juta. Adapula penyidik yang berasal dari institusi kepolisian atas nama Stepanus Robbin Pattuju yang menerima suap dari pihak berperkara senilai total Rp11,538 miliar.

BACA JUGA:Ungkapan Rasa Syukur Naik Klaster Mandiri, LPPM Unila Gelar Dzikir dan Doa Bersama

Setali tiga uang. Yang tak kalah mencengangkan, puncaknya adalah ketika pucuk pimpinan lembaga tersebut, yakni Lili Pintauli Siregar dan Firli Bahuri terseret kasus pelanggaran etik. Mereka diduga menerima sebuah hadiah atau janji dari pihak berperkara. Perilaku keduanya jelas berbanding terbalik dengan 75 pegawai berintegritas yang dilabeli ‘tak bisa dibina’ dan mereka buang dua tahun lalu, melalui operasi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Belakangan atas perbuatannya, Firli sendiri ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya terkait kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Firli pun divonis melanggar etik berat dan diminta untuk mengundurkan diri oleh Dewan Pengawas (Dewas KPK), setelah siasatnya mengundurkan diri untuk menghindari sidang Dewas gagal.

Awalnya, Firli ingin meniru Lili yang diam-diam mengundurkan diri dan kasusnya batal disidangkan karena dinilai gugur, usai Presiden Jokowi menyetujui pengunduran diri Lili. Namun, mantan Kabarharkam Polri itu justru gagal dan sempat salah redaksional, saat membuat surat pengunduran diri. Vonis pun dijatuhkan dan akhirnya Firli terpaksa harus menelan pil pahit, karena dirinya dinilai terbukti melanggar etik berat sebagai Insan KPK.

Kini, angin kembali berhembus kencang di Kuningan, sebutan untuk Markas KPK. Bertepatan dengan pengusutan kasus 93 pegawai KPK yang dinilai terlibat Pungli, dua pucuk pimpinannya kembali dilaporkan atas tuduhan pelanggaran kode etik. Adapun dua pimpinan lembaga antirasuah itu, yakni Alexander Marwata dan Nurul Ghufron.

Tag
Share