PH Klaim Bukti Tambahan Tidak Jelas Perbuatan Pidana dan Alat Bukti Kejaksaan

Sidang praperadilan Direktur Utama PT Lampung Energi Berjaya (LEB), M. Hermawan Eriadi, memasuki hari ketiga dengan agenda penyerahan bukti tambahan.--

Tidak kalah penting, Pemohon juga menyerahkan Putusan MK 25/PUU-XIV/2016 yang menjadi dalil bahwa kerugian negara harus nyata (actual loss), bukan potensi. Perhitungan harus ada, ditunjukkan, dijelaskan sebelum penetapan tersangka.

"Sehingga tanpa laporan kerugian negara yang sah, unsur Pasal 2–3 UU Tipikor tidak terpenuhi," tambah Riki.

Pemohon juga menyampaikan Akta RUPS PT LEB yang menunjukkan semua keputusan keuangan (dividen, cadangan, kompensasi) adalah keputusan resmi dan sah Pemegang Saham, bukan keputusan sepihak Direksi sesuai dengan UU Perseroan Terbatas No. 40/2007 dan Peraturan Pemerintah No. 54/2017 tentang BUMD. Sesuai uurisprudensi keputusan MA No. 787 K/2014 dan 1144 K/2010 bahwa Keputusan RUPS tidak dapat dikriminalkan.

Menurutnya, Kejaksaan hanya menulis: “Ada saksi, Ada ahli, Ada surat. Tetapi tidak satu pun dikaitkan dengan perbuatan konkret yang dilakukan Direksi atau Komisaris. Padahal Putusan MA No. 42 PK/Pid.Sus/2018 menegaskan bahwa Alat bukti harus berkorelasi langsung dengan perbuatan tersangka. Jika perbuatannya tidak pernah dijelaskan, alat bukti itu menjadi tidak relevan," lanjut Riki.

Kerugian Negara Tetap Gelap Salah satu unsur paling penting Tipikor adalah adanya kerugian negara yang nyata dan pasti.

Namun faktanya Kejaksaan tidak pernah menyebut angka kerugian, laporan audit BPKP tidak pernah ditunjukkan serta tidak dijelaskan apa hubungan perbuatan Pemohon dengan kerugian negara.

Padahal, Putusan MK 25/2016 dan MA 944 K/2010 serta MA 1204 K/2014 mewajibkan: Kerugian harus harus ditunjukkan kepada calon tersangka dan menjadi dasar sebelum penetapan tersangka.

“Kejaksaan satu tahun lebih menyidik, tapi sampai hari ini tidak bisa menjawab: negara dirugikan berapa dan oleh siapa,” ujar Riki. (*)

Tag
Share