Identitas Budaya Daerah dalam Cerpen
oleh Kiki Zakiah Nur
Analis Kata dan Istilah
Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Karya fiksi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan dunia yang sengaja dikreasikan oleh pengarang. Di dalamnya terdapat unsur hiburan dan estetis. Dengan membaca cerita, kita menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Tidak hanya itu, cerita pun memiliki banyak muatan nilai luhur yang terkandung di dalamnya, seperti nilai moral, sosial, religius, budaya, historis, psikologis, dan sebagainya. Penanaman nilai-nilai tersebut dapat membentuk watak serta peradaban masyarakat yang bermartabat sebagai bekal dalam memahami diri, sosial, dan persoalan-persoalan kehidupan lain.
Dalam karya fiksi yang berjudul “Tapis Tenun untuk Bu Lia” karya Isna Lailatul Azmi terkandung identitas atau nilai budaya kedaerahan, yakni budaya suku Lampung. Sang pengarang menceritakan Ela, sapaan Elana, tokoh utama yang memiliki keinginan memberikan hadiah berupa tapis tenun khas Lampung kepada Bu Lia sebagai kenangan-kenangan atas dedikasinya selama menjadi guru. Atas ide bundanya, Ela membuat sendiri tapis tenun tersebut. Namun, karena tidak bisa menenun, Ela kemudian belajar menenun kepada Kak Ana, seorang tunadaksa. Pada awalnya, Ela sering merasa kesal, bosan, dan hampir putus asa untuk membuat tapis tenun lantaran ia sering membuat kesalahan. Ya, menenun memang bukan pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan kesabaran, ketelitian, dan rasa sayang untuk melakukannya. Adanya semangat dan nasihat dari Kak Ana membuat Ela akhirnya berhasil menyelesaikan tapis tenun yang kemudian dia berikan kepada Bu Lia.
BACA JUGA:Tentang Cinta Anak Sekolah: Cerita yang “Stereotipe”
Cerpen ini menampilkan permasalahan yang umumnya terjadi di kalangan remaja, yakni upaya seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya yang dalam prosesnya kadang-kadang disertai rasa jenuh atau kesal, bahkan hampir putus asa. Namun demikian, menariknya, cerpen ini menampilkan identitas budaya yang terdapat dalam masyarakat Lampung. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan "Egham-ku di Lampung~~" Ela bersenandung. Kata egham merupakan kosakata bahasa Lampung yang berarti rindu. Unsur budaya lainnya adalah frasa kain tapis yang bermotif tajuk ayun. Hal itu tampak dalam kutipan cerita Tepat di samping lemari kayu tersampir kain tapis bermotif tajuk ayun. Kain tapis merupakan kain khas suku Lampung yang umumnya digunakan dalam berbagai acara adat. Hal yang sama tampak dalam frasa rumah panggung khas Lampung dan Nuwo Sanggar Tapi Lampung yang tampak dalam kutipan Aku pun terbangun, saat ayah menghentikan mobil di halaman rumah punggung khas Lampung. Terdapat plang bertuliskan “Nuwo Sanggar Tapis Lampung. Frasa kopiah emas juga merupakan unsur budaya Lampung, yaitu sejenis tutup kepala tradisional yang terbuat dari benang emas yang dianyam menjadi pola-pola pada kain sehingga memberikan tampilan yang berkilau dan khas, yang umumnya dikenakan dalam acara-acara seremonial, seperti pernikahan, acara keagamaan, dan festival tradisional. Kopiah ini dianggap sebagai simbol kekayaan, status, dan identitas budaya.
Ide Isna Lailatul Azmi menampilkan identitas budaya Lampung patut diacungi jempol. Pasalnya, pada era serbamodern saat ini tidak banyak generasi milenial yang peduli terhadap kekayaan budaya sendiri. Pemunculan unsur budaya Lampung dalam cerpen ini merupakan upaya Isna untuk mempertahankan dan melestarikan keberadaannya serta mengajak para remaja untuk ikut serta melakukan hal yang sama. Apalagi dalam penyampaian ceritanya, Isna menggunakan bahasa khas yang digunakan oleh kalangan remaja. Hal ini tampak di dalam dialog antartokoh. Penggunaan kata-kata seperti nggak, ngomongin, kepikiran, kenalin, dan gimana adalah beberapa contohnya. Pengungkapan cerita dengan bahasa yang ringan dan sederhana membuat para pembaca, terutama remaja, mampu untuk memahami isi serta pesan moral dan budaya yang ingin disampaikan oleh pengarangnya.
BACA JUGA:Di Bawah Layangan Malam
Akan tetapi, Isna Lailatul Azmi tampaknya masih kurang jeli mengenai unsur kebahasaan dan sudut pandang cerita. Dalam kebahasaan, ada beberapa kata atau frasa yang masih belum tepat. Penggunaan frasa sekumpulan anak-anak adalah contohnya. Dalam frasa tersebut terdapat pemborosan kata. Yang seharusnya digunakan adalah frasa sekumpulan anak atau anak-anak karena keduanya mengandung makna yang sama, yaitu jamak atau banyak. Bentuk purna tugas seharusnya ditulis purnatugas karena purna- merupakan bentuk terikat sehingga penulisannya harus melekat pada kata lain. Kata pengerajin merupakan kata turunan yang tidak tepat. Kata tersebut berasal dari kata dasar rajin dengan kata turunan perajin. Pilihan kata jam sekolah pun masih belum tepat. Akan lebih baik jika digunakan frasa jam pelajaran.
Dalam sudut pandang cerita, Isna Lailatul Azmi masih belum konsisten. Dalam paparan cerita, Isna menyebut tokoh utama dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, yaitu kata ganti dia dan nama orang, Ela. Namun, di paparan lain, Isna menggunakan sudut pandang orang pertama terhadap tokoh utama, yaitu aku. Ini tampak dalam kutipan berikut.
“Ela pun menunggu kedatangan ayah di depan gerbang sekolah. Terik matahari menyengat kulit kepala Ela hingga butiran-butiran keringat membasahi hampir sebagian wajahnya. Ela berkali-kali mengusap keringat di dahinya. Yang ditunggu akhirnya datang. Sebuah mobil hitam melaju dari arah berlawanan.
Ela duduk di samping kursi kemudi. Ia menghadap ke arah kaca jendela yang menyuguhkan pemandangan kota Bandar Lampung. Sepanjang perjalanan, ayah tak berkata sepatah kata pun. Akhirnya aku tertidur karena bosan.
Aku pun terbangun, saat ayah menghentikan mobil di halaman rumah punggung khas Lampung. Terdapat plang bertuliskan “Nuwo Sanggar Tapis Lampung.” Aku sedikit keheranan. Rupanya bunda telah menceritakan semuanya pada ayah. Hingga akhirnya ayah berinsiatif untuk mengajakku ke sini.”