Makanan Bergizi Gratis dan Ambisi Generasi Emas 2045
FOTO DOK. HARIAN DISWAY --
Oleh: Anwar Ma’ruf Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
NARASI tentang generasi emas sudah tak asing terdengar di telinga kita, terutama diucapkan kelompok elite yang sedang mengajak masyarakat untuk membangun mimpi kejayaan Indonesia pada 2045. Salah satu target yang ingin dicapai pada masa ”kejayaan” itu adalah lahirnya generasi unggul.
Pemerintah menyadari bahwa cara untuk mencetak generasi yang dapat diandalkan adalah melalui peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia itu sendiri. Salah satu cara yang digunakannya adalah melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Pemerintah berdalih bahwa generasi sehat merupakan fondasi untuk mencetak generasi unggul. Maka, MBG adalah program yang digadang-gadang akan menjadi instrumen penting dalam mencetak generasi emas tahun 2045.
Menurut Qomarullah dkk (2025), MBG berpotensi dapat menurunkan angka tengkes dan malanutrisi pada anak sekolah.
Sebagai masyarakat sipil, kita perlu memberikan sejumlah catatan kritis yang tak boleh diabaikan agar program itu bukan sekadar ”gula-gula” pemerintahan. Mengingat, belakangan ini MBG sedang banyak disorot karena banyaknya ”konsumen” yang keracunan.
Menurut catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sejak Januari hingga September 2025, sudah ada 6.452 kasus keracunan terkait MBG di 18 provinsi. Catatan merah itu sebaiknya menjadi momentum untuk mengevaluasi program unggulan tersebut agar tak ada korban jiwa selanjutnya.
DILEMA PEMERINTAH: ANTARA GIZI DAN PENDIDIKAN
Pada dasarnya, memang pendidikan dan gizi adalah dua wajah dari mata uang yang sama. Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan angka bertahan siswa hingga kelas VI SD sudah menyentuh 96,20 persen. Sebuah capaian membanggakan, meski kualitas belum sepenuhnya setara di setiap daerah.
Indeks literasi dan numerasi memang membaik –68,13 persen siswa mencapai standar literasi dasar pada 2023, naik signifikan dari 59,49 persen pada 2022. Namun, kesenjangan antarwilayah dan keterbatasan sarana belajar masih menjadi masalah nyata.
Sementara itu, dalam sektor gizi, pemerintah masih berhadapan dengan masalah tengkes. Kehadiran MBG berpotensi menjadi intervensi penting.
Hingga September 2025, Badan Gizi Nasional mencatat telah terbentuk 7.477 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang tersebar di 38 provinsi, 509 kabupaten, dan 7.022 kecamatan, dengan target perluasan hingga 31 ribu unit tahun ini.
Langkah itu memberikan harapan bahwa anak-anak Indonesia tidak lagi belajar dalam keadaan lapar.
Pemerintah sejatinya dapat mengatasi dilema tersebut dengan cara yang sederhana. Pemenuhan gizi dapat diprioritaskan pada daerah 3T yang notabene memerlukan asupan makanan yang baik dan bergizi (Abshar dkk, 2025).