Puisi ’’Hari-Hari Bahagia’’ Residu Kehidupan Sehari-hari
DISKUSI BUKU SASTRA #1: Buku puisi "Hari-Hari Bahagia" karya Ari Pahala Hutabarat (APH) dibedah dalam Diskusi Buku Sastra #1 yang berlangsung di aula Gedung C Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila), Rabu (1/10).--FOTO ANGGI RHAISA
BANDARLAMPUNG - Buku puisi "Hari-Hari Bahagia" karya Ari Pahala Hutabarat (APH) dibedah dalam Diskusi Buku Sastra #1 yang berlangsung di aula gedung C Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila), Rabu (1/10). Diskusi Buku Sastra #1 merupakan program kegiatan Lampung Literature berkolaborasi dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Kelompok Studi Seni (UKM F KSS) serta Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (HMJ PBS) FKIP Unila.
Diskusi Buku Sastra #1 ini mendapat dukungan dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia yang dimoderatori Edi Siswanto, dosen PPKn FKIP Unila. Dalam Diskusi Buku Sastra #1 menghadirkan tiga sosok. Yakni Ari Pahala Hutabarat, penulis buku puisi "Hari-Hari Bahagia"; Ketua Program Studi S-1 Pendidikan Bahasa Lampung Dr. Munaris, M.Pd.; serta Sastrawan dan Budayawan Lampung Iswadi Pratama.
Ari Pahala mengatakan, puisi ini merupakan residu dalam kehidupan sehari-hari yang ingin dikomunikasikan atau sampaikan melalui fikiran atau argumen, biasanya dikeluarkan melalui essay, tulisan, maupun lainnya. ’’Termasuk ada hal yang tidak bisa disampaikan atau dikomunikasikan. Terutama hal-hal yang sifatnya emosional, sentimentil, dan fikiran yang tidak bisa diluapkan. Maka residunya keluar melalui puisi, termasuk dalam puisi "Hari-Hari Bahagia" ini,’’ katanya.
Sedangkan Munaris menilai, puisi "Hari-Hari Bahagia" mesin produksi Ari Pahala wah ini tak bahagia pasti tidak bahagia. "Karena saya yakin produk puisi. Bagaimana mau bahagia, kalau kita diminta untuk memahami puisi "Hari-Hari Bahagia"," katanya
Menurut Munaris, klimak romantis seorang pemuisi itu terlihat dari klimak puisinya seperti puisi kali ini berjudul "Hari-Hari Bahagia". ’’Apalagi di pengantar APH bahwa puisi itu residu.Bagaimana mau bahagia, kalau puisi ini residu semua?" jelasnya.
Munaris menyampaikan, sebuah puisi tidak bisa disalahkan karena memiliki persepsi masing-masing karena pemikiran penulis belum tentu sama dengan penikmat puisi atau pendengar puisi.
Munaris mengatakan, diksi dalam puisi tidak sekadar berfungsi sebagai alat komunikasi. ’’Melainkan juga sebagai medium estetik yang mengandung nilai rasa, irama, simbol, dan keindahan bunyi,’’ ucapnya.