Deddy Sitorus Klarifikasi Video Potongan DPR Tak Setara dengan Rakyat, Singgung Rp8 Miliar untuk Buzzer

Deddy Sitorus menegaskan pernyataannya soal gaji DPR dipelintir buzzer hingga menimbulkan salah tafsir di masyarakat. -FOTO IST -

JAKARTA – Anggota DPR RI Fraksi PDIP Deddy Sitorus angkat suara terkait potongan video dirinya yang viral di media sosial. Dalam video tersebut, Deddy tampak menyebut DPR tidak setara dengan rakyat, hingga menuai kritik luas dari masyarakat.
Deddy menilai potongan video itu telah menyesatkan. Ia bahkan menuding ada dana hingga Rp8 miliar yang digelontorkan untuk buzzer agar menggiring opini negatif terhadap dirinya dan DPR.
“Pernyataan saya itu dipotong, lalu digiring seolah-olah saya bilang membandingkan DPR dengan rakyat itu sesat logika. Padahal konteksnya soal gaji dan tunjangan, bukan status DPR dan rakyat,” kata Deddy, Sabtu (23/8/2025).
Dalam acara talk show televisi yang menjadi sumber potongan video, Deddy mencontohkan bahwa gaji DPR seharusnya dibandingkan dengan pejabat tinggi negara lain, bukan dengan rakyat biasa.
“Kalau membandingkan gaji DPR dengan rakyat, jelas tidak apple to apple. Harusnya dibandingkan dengan menteri, kapolri, atau pejabat setingkat. Sama seperti membandingkan gaji jenderal dengan prajurit, itu keliru,” tegasnya.
Deddy juga menyinggung soal tunjangan perumahan yang belakangan menjadi sorotan publik. Ia menekankan tunjangan bukanlah pendapatan tambahan, melainkan fasilitas yang juga diterima pejabat negara lain, seperti menteri, direksi BUMN, hingga kapolri, dan sudah diatur dalam undang-undang keuangan negara.
“Kalau tidak sesuai aturan, BPK pasti tidak mengizinkan. Jadi jangan dibenturkan seolah-olah DPR yang salah,” ujarnya.
Ia pun menyayangkan adanya pihak yang memotong video secara tendensius. “Ini rendahan, mirip kasus Ahok dulu. Tujuannya jelas, untuk membentuk opini negatif. Bahkan saya dengar ada dana Rp8 miliar yang digelontorkan untuk operasi buzzer ini,” kata Deddy.
Menurutnya, masyarakat perlu melihat rekaman lengkap acara tersebut agar memahami konteks yang sebenarnya. “Sayangnya, banyak yang terpengaruh hanya karena melihat sepotong video,” tambahnya.
Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) melalui Ketua PD KMHDI Jakarta, Marselinus, mendesak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk segera mengambil tindakan tegas dengan menonaktifkan salah satu kadernya, Deddy Sitorus.
Desakan ini muncul menyusul pernyataan kontroversial Deddy Sitorus yang mengatakan “jangan bandingkan DPR dengan rakyat jelata,” sebuah pernyataan yang dinilai sangat melukai hati masyarakat.
“Ucapan tersebut bukan hanya mencerminkan arogansi seorang wakil rakyat, tetapi juga mempertegas jurang pemisah antara DPR dan rakyat yang mereka wakili. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap rakyat,” ujar Marselinus dalam keterangannya, Selasa 2 September 2025.
Marselinus menyoroti bahwa beberapa partai politik lain telah menunjukkan sikap tegas dengan menonaktifkan kader-kader mereka yang membuat pernyataan atau tindakan kontroversial.
Ia menyebut nama-nama seperti Ahmad Sahroni, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Nafa Urbach, hingga Uya Kuya, semuanya telah dinonaktifkan oleh partai masing-masing demi menjaga marwah partai dan merespons kemarahan publik.
“Langkah yang diambil oleh Ketum Partai NasDem dan PAN sudah tepat dan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Kini tinggal PDIP yang belum mengambil tindakan terhadap Deddy Sitorus, padahal dampak dari ucapannya sangat meresahkan,” tegas Marselinus.
“Kami menilai bahwa sebagai partai besar yang mengusung nilai-nilai kerakyatan dan mengaku bahwa mereka wakil wong cilik, PDIP semestinya menjadi teladan dalam menjunjung etika politik dan moralitas publik,” katanya.
“Pembiaran terhadap pernyataan semacam ini akan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif maupun partai politik,” pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto menegaskan, anggota DPR yang bersikap arogan yang membuat gaduh tidak cukup jika dinonaktifkan atau mengundurkan diri.
Namun harus dilakukan pergantian antar waktu (PAW) oleh partai yang mengusung.
Pernyataan menanggapi sikap arogan anggota DPR RI, seperti Ahmad Syahroni (NasDem), Eko Patrio (F-PAN) Uya Kuya (F-PAN), Dedi Sitorus (F-PDIP), Nafa Urbach (F-NasDem) dan lainnya.
Menurut Agus, tidakan partai menonaktifkan anggot DRP tersebut menurutnya salah satu bentuk respon yang baik.
Dalam hal ini, publik mempertanyakan apakah tidak aktif itu berarti akan di PAW atau bukan.
“Kalau itu bagian dari respon partai seharusnya ya dilakukan pergantian antar waktu, bukan dinonaktifkan ya. Kan dinonaktifkan itu kan baru dinonaktifkan dalam pengertian tidak tidak bekerja. Untuk penjelasan lebih lanjut, apakah itu akan diganti antar waktu sehingga yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR diganti oleh anggota DPR yang lain,” ujar Aguw dalam dikonfirmasinya, Selasa 2 September 2025.
Ia menyinggung nama Deddy Sitorus anggota F-PDIP yang belum dikenakan sanksi oleh partainya.
Menurutnya, selain rasa dari individu Deddy Sitorus permasalahan tersebut juga sangat tergantung pada mekanisme yang ada di partai berlambang banteng moncong putih.
“Kalau itu (mengundurkan diri atau tidak) itu persoalan rasa ya. Soal bagaimana sensitifitas melihat suasana dan kebatinan masyarakat. Kalau dinonaktifkan itu tergantung mekanisme yang ada di partai,” jelasnya.

(disway/c1abd)

Tag
Share