Batas Garis Kemiskinan, BPS Tetapkan Rp20 Ribu per Hari

GARIS KEMISKINAN: BPS menetapkan Rp20 ribu per hari sebagai batas garis kemiskinan.-FOTO ISTIMEWA -

JAKARTA - Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan terbaru mengenai tingkat kemiskinan Indonesia untuk periode Maret 2025.
Dalam laporan tersebut, BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, yang berarti sekitar Rp20.305 per hari, angka yang cukup mengejutkan dan menuai perhatian publik.
Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono, nilai garis kemiskinan ini sendiri ditetapkan dengan mengacu standar nasional konsumsi, baik pada makanan ataupun non-makanan.
“Untuk makanan, share-nya memang lebih besar, yaitu sekitar 74,58 persen,” jelas Ateng dalam konferensi pers yang digelar di Kantor BPS, Jakarta, pada Jumat 25 Juli 2025.
Menanggapi temuan tersebut, sejumlah masyarakat pun turut buka suara terkait jumlah Rp 20.000 yang dijadikan indikator kemiskinan tersebut.
Menurut Nur Yahni, salah seorang ibu rumah tangga yang ditemui oleh Disway pada Rabu 30 Juli 2025, jumlah Rp 20.000 tersebut sendiri memang terbilang sangat kurang untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, dirinya juga menambahkan bahwa hal tersebut juga bergantung dengan faktor jumlah anggota keluarga masing-masing.
“Tergantung jumlah anggota keluarga. Kalau dengan jumlah anak 1 (balita) asumsi beli telur yang cukup. Tapi kalau dengan anak 3 ya kurang. Jadi tergantung sasarannya,” jelas Nur ketika ditemui oleh Disway.
Di sisi lain, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menyatakan bahwa data kemiskinan tersebut diambil dari rata-rata data kebutuhan manusia per harinya mulai dari kalori dan sebagainya.
Dalam hal ini, dirinya menjelaskan bahwa ketika data  untuk kemiskinan diambil pada bulan Februari ketika ada diskon tarif listrik, yang membuat garis kemiskinan bukan makanan hanya naik sekitar 2.01 persen.
“Kebutuhan tersebut dibedakan menjadi dua, kebutuhan makanan dan non makanan. Kebutuhan makanan ya seperti beras dan lauk pauknya. Sedangkan kebutuhan non makanan seperti listrik dan sebagainya,” jelas Nailul ketika dihubungi oleh Disway.
“Memang adanya intervensi diskon tarif listrik membuat harga tidak melambung dan garis kemiskinan akhirnya naik tipis saja. Padahal, jika dampak dari diskon tarif listrik bersifat temporer sehingga jika dilakukan setelah intervensi bisa jadi garis kemiskinan akan naik cukup tajam. Padahal PHK baik tajam di bulan Maret-Juni 2025,” tambahnya.
Nailul juga menambahkan bahwa penghitungan garis kemiskinan juga melibatkan dari sisi daya beli. Dalam hal ini, kenaikan garis kemiskinan yang tipis bisa disebabkan daya beli masyarakat yang memang melemah sehingga harga akan cenderung stagnan.
“Jadi daya beli lemah ini menurunkan permintaan. Dampaknya GK akan naik sangat tipis. Inilah kelemahan menghitung kemiskinan melalui konsumsi,” jelas Nailul.
Sementara itu, perbedaan mencolok terjadi dalam laporan kemiskinan Indonesia antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia.
BPS mencatat tingkat kemiskinan per Maret 2025 sebesar 8,74 persen atau sekitar 23,85 juta jiwa. Namun, Bank Dunia menyebut angka tersebut jauh lebih tinggi, mencapai 68,2 persen dari total penduduk atau setara 194 juta jiwa.
Menurut BPS sendiri perbedaan ini terjadi karena perbedaan metodologi. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN), yang menghitung pengeluaran minimum untuk makanan dan non-makanan berdasarkan standar konsumsi nasional.
Sementara Bank Dunia menggunakan standar internasional berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) untuk kelompok negara berpenghasilan menengah atas, dengan ambang batas USD 6,85 PPP per hari.
Menanggapi hal ini, Nailul menyatakan bahwa harus ada updating soal penghitungan garis kemiskinan saat ini. “BPS harus berani untuk mengganti penghitungan saat ini untuk lebih menggambarkan kondisi di masyarakat secara lebih valid bukan hanya untuk kepentingan tertentu. Saya sangat paham kenapa metode tersebut tidak diubah, salah satunya faktor bantuan sosial yang akan membengkak ketika metode penghitungan diubah,” tutup Nailul. (disway/c1/yud)

Tag
Share