Indonesia Butuh Strategi ASEAN Bersatu

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump-FOTO AP -
JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengeluarkan kebijakan tarif perdagangan terbaru terhadap 14 negara di dunia. Sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, turut terdampak.
Dalam kebijakan tersebut, Indonesia dikenai tarif 32%, sementara Thailand terkena 36%, Malaysia 25%, Kamboja 36%, Laos 40%, dan Myanmar 40%.
Menanggapi kebijakan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto langsung bertolak ke AS guna melakukan negosiasi bilateral terkait penyesuaian tarif perdagangan terbaru.
Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman menilai, Indonesia memiliki dua opsi strategis dalam menghadapi situasi ini. Selain melakukan pendekatan bilateral, ia mendorong agar Indonesia membentuk aliansi bersama negara-negara Asia Tenggara yang mengalami dampak serupa.
’’Selain berharap agar tarif dapat diturunkan, kita juga harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, yakni diberlakukannya tarif 32%,” ujar Ibrahim, Rabu (9/7).
Ibrahim menambahkan, strategi yang dapat dilakukan antara lain diversifikasi negara tujuan ekspor dan memperkuat kerja sama dengan negara ASEAN. Menurutnya, posisi tawar negara-negara Asia Tenggara akan lebih kuat jika melakukan negosiasi secara kolektif ketimbang secara individu.
’’Kalau negara-negara ASEAN melakukan negosiasi secara individual, maka posisi tawarnya sangat lemah. Kita bukan China yang punya kekuatan ekspor luar biasa. Oleh karena itu, alternatif kebijakan yang perlu ditempuh adalah duduk bersama dalam kerangka ASEAN untuk membentuk collective bargaining regional, mengingat produk ekspor kita relatif homogen,” jelas Ibrahim.
Ibrahim menyebut negara-negara ASEAN selama ini menjadi pemasok utama produk pertanian, makanan, hasil tambang, dan barang elektronik. Jika kekuatan regional ini dikonsolidasikan, maka daya tawar terhadap AS akan lebih besar.
Ibrahim mengimbau pemerintah untuk bersikap realistis dan menyiapkan skenario jika negosiasi tidak berhasil.
’’Kita harus menyiapkan berbagai kemungkinan. Baik skenario buruk dengan tarif 32% tetap berlaku, maupun skenario baik jika AS memutuskan menarik kembali kebijakan tarif karena dampaknya justru kontraproduktif bagi perekonomian mereka sendiri,” ungkap Ibrahim. (beritasatu.com/c1)