Indonesia Kehilangan Investasi Rp1.500 Triliun

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyoroti masalah perizinan yang masih rumit dan tumpang tindih sebagai biang keladi Indonesia Kehilangan investasi Rp 1.500 Triliun-Foto Istimewa
-
Gara-gara Perizinan yang Rumit
JAKARTA - Indonesia disebut kehilangan potensi investasi hingga Rp1.500 triliun sepanjang 2024. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, yang menyoroti masalah perizinan yang masih rumit dan tumpang tindih sebagai biang keladinya.
’’Karena perizinan yang tidak efisien dan sistem yang belum terintegrasi, banyak investor akhirnya memilih hengkang. Total potensi investasi yang hilang mencapai Rp1.500 triliun,” ujar Bahlil dalam keterangan resminya pada Selasa, 27 Juni 2025.
Bahlil menjelaskan sekitar 40 proyek investasi besar batal terealisasi. Sektor yang paling terdampak antara lain energi baru dan terbarukan (EBT), smelter dan hilirisasi tambang, industri bahan baku baterai listrik (EV), serta kawasan industri dan manufaktur besar.
’’Investor dari Jepang, Korea Selatan, hingga Eropa sudah menyatakan minat, tetapi akhirnya mundur karena proses birokrasi yang dinilai terlalu berbelit-belit,” ungkap Bahlil.
Menurut penjelasan kementeriannya, sistem OSS (Online Single Submission) yang menjadi andalan pemerintah ternyata belum sepenuhnya terintegrasi antara pusat dan daerah.
BACA JUGA:Revisi UU HAM Terkendala, Natalius Pigai Akui Baru Rampung 60 Persen
Hal ini menyebabkan investor masih harus mengurus beberapa perizinan, seperti Izin lokasi, Izin lingkungan (Amdal), Izin usaha sektoral, Rekomendasi dari kementerian teknis.
Kondisi ini sendiri dinilai memperlambat realisasi proyek dan menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor.
Namun hingga artikel ini ditulis, pihak Disway masih belum mendapatkan tanggapan lebih lanjut dari Kementerian Investasi terkait dengan dampak lanjutan dari batalnya rencana Investasi triliunan ini kepada pengembangan proyek industri di Indonesia.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital · Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda juga turut menyoroti penyebab dari batalnya investasi triliunan ini.
BACA JUGA:DPR Ingatkan Kejagung Soal Penyadapan: Harus Hati-Hati dan Sesuai Hukum
Menurutnya, ada masalah krusial yang menjadi penyebab minat investasi ke Indonesia relatif rendah. Salah satu dari masalah tersebut adalah terjadinya penurunan adalah goverment efficiency dan business efficiency.
Diketahui, Gov efficiency turun dari peringkat 23 menjadi 34 dengan penurunan paling tinggi di sub institusional framework yang turun 26 peringkat.
“Artinya ada yang salah dengan kebijakan-kebijakan terkait dengan competitiveness,” ucap Nailul saat dihubungi oleh Disway (group Radar Lampung), pada Jumat 4 Juli 2025.
Dalam hal ini, Nailul juga menambahkan bahwa beberapa permasalahan seperti masalah premanisme, kegalauan masuk BRICS atau OECD, dan kebijakan yang memasukkan TNI di beberapa sektor terkait ekonomi juga turut mempengaruhi minat investasi di Indonesia.
“Terakhir Dirjen Bea Cukai juga dari TNI. Ini yang menyebabkan bisnis tidak efisien,” tegas Nailul.
BACA JUGA:Usai Telponan dengan Trump, Putin Serang Rudal ke Ukraina
Selain masalah kebijakan, Nailul juga turut menyoroti Incremental Capital to Output Ratio (ICOR) Indonesia yang juga sangat tinggi dan tidak baik untuk pelaku bisnis di Indonesia.
Jika kondisi ini terus berlanjut, dirinya mengungkapkan kemungkinan akan tertinggalnya peringkat Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia.
“Investor dan pelaku bisnis tidak akan masuk ke Indonesia apabila masalah kebijakan ini belum terselesaikan. Investor akan memilih Malaysia sebagai tempat investasi yang memberikan kepastian usaha hingga ekonomi yang lebih efisien,” pungkas Nailul.
Dalam hal ini, Nailul menambahkan bahwa memberikan kepastian bisnis dan berusaha dengan memberikan perlindungan terhadap praktik premanisme ataupun perilaku koruptif lembaga negara dapat dengan perlahan mengembalikan kepercayaan investor.
’’Tinjau kembali penunjukan aparat (aktif dan purnawirawan) di sektor-sektor ekonomi. Alangkah baiknya diserahkan kepada orang non aparat yang lebih profesional,” tegas Nailul. (disway/c1/yud)