Berhenti Merokok dengan Vape? Risiko Kesehatan Paru-Paru Masih Membayangi

Mengganti rokok konvensional dengan vape ternyata tidak sepenuhnya aman, terutama bagi kesehatan paru-paru.-Foto Pixabay-
RADAR LAMPUNG - Banyak orang beranggapan bahwa mengganti rokok konvensional dengan vape adalah pilihan yang lebih sehat. Namun, para ahli menegaskan bahwa kebiasaan ini tidak sepenuhnya aman, terutama bagi kesehatan paru-paru.
Dr. Sanjay Sethi, ahli paru dari University at Buffalo, menyampaikan bahwa cairan dalam vape mengandung sejumlah zat berbahaya seperti nikotin, akrolein, dan logam berat. Zat-zat tersebut bisa menimbulkan iritasi, peradangan, serta meningkatkan produksi lendir di saluran pernapasan. Dalam jangka panjang, pengguna berisiko mengalami gangguan paru kronis seperti PPOK.
Tak hanya itu, beberapa produk vape mengandung vitamin E asetat, terutama yang dicampur THC. Bahan ini telah dikaitkan dengan EVALI, penyakit paru akut yang menyebabkan gejala serius seperti napas pendek, batuk, dan denyut jantung meningkat.
Walau beberapa zat dalam vape seperti propylene glycol dianggap aman saat dikonsumsi lewat makanan, risikonya berubah saat dipanaskan dan dihirup dalam bentuk uap.
“Ketika zat-zat ini dipanaskan, mereka dapat berubah menjadi senyawa beracun yang mirip dengan yang terdapat pada rokok biasa,” jelas Dr. Sethi, dikutip dari Verywell.
Sebuah riset besar pada 2020 mencatat bahwa pengguna vape memiliki peluang 43% lebih tinggi mengalami gangguan pernapasan seperti asma, bronkitis kronik, dan emfisema dibandingkan mereka yang tidak menggunakan.
Vape sering digunakan sebagai alat bantu untuk berhenti merokok, tetapi Dr. Daniel Ouellette dari Henry Ford Health memperingatkan bahwa efek jangka panjang dari vaping belum sepenuhnya diketahui. Ia menambahkan, menggunakan vape bersamaan dengan rokok malah bisa meningkatkan bahaya.
“Kombinasi dua produk ini berarti tubuh terpapar dua jenis racun berbeda,” katanya.
Popularitas vape terus meningkat, terutama di kalangan muda. Berdasarkan data tahun 2023, sekitar 15,5% individu berusia 21–24 tahun di Amerika Serikat menggunakan vape, jauh lebih tinggi dibanding kelompok usia 50 tahun ke atas yang hanya 3,3%.
Dr. Jorge M Mercado dari NYU Langone Hospital–Brooklyn pun memperingatkan bahwa vape dapat memicu ketergantungan nikotin dan menyebabkan kerusakan paru-paru sejak usia dini.
Kasus ekstrem terjadi pada 2019, ketika seorang remaja 16 tahun menjadi pasien pertama di AS yang harus menjalani transplantasi paru-paru akibat kerusakan serius yang disebabkan oleh vape.
Kesimpulan:
Meskipun dianggap sebagai alternatif, vape tetap membawa risiko signifikan bagi kesehatan paru. Pilihan terbaik untuk paru-paru tetaplah berhenti total dari segala bentuk produk nikotin, baik rokok maupun vape. (*)