Pemerintah Diminta Buat Satu Peta Kehutanan

Kendaraan melintas di areal perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Kalimantan Barat.--FOTO ISTIMEWA
"Singapura luasnya berapa? Kita punya 31,8 juta hektare lahan nganggur (kawasan hutan tak berhutan) tapi tidak dipakai. Padahal kita butuh lapangan kerja, butuh investasi. Kenapa tidak dimanfaatkan saja secara legal dan benar?" tegasnya.
Terkait Satgas yang menangani masalah ini, Sadino memberikan catatan penting agar tidak hanya mengandalkan data dari satu sektor saja. "Satgas harus bekerja dengan pendekatan lintas sektoral. Jangan hanya pakai data kehutanan yang banyak salahnya. Kalau ada surat hak atas tanah, ya keluarkan saja dari kawasan hutan. Itu lebih adil bagi rakyat," tegasnya.
Kepala Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Pancasila Prof Dr Agus Surono
menilai Perpres No 5/2025 sebenarnya bisa membawa semangat percepatan penyelesaian persoalan kawasan hutan. Di sisi lain, perpres tersebut juga memunculkan sejumlah kekhawatiran yang berpotensi pengabaian prinsip-prinsip keadilan ekologis dan sosial yang telah ditegaskan dalam konstitusi, UU Cipta Kerja, putusan Mahkamah Konstitusi No 45/2011, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Agus berharap pemerintah mempelajari dampak pelaksanaan perpres tersebut terhadap hak-hak masyarakat di sekitar hutan, kepastian hukum atas status kawasan hutan, perlindungan fungsi ekologis hutan, hingga potensi legalisasi pelanggaran kehutanan yang terjadi di masa lalu.
"Lahan yang dijadikan kawasan hutan diharapkan benar-benar clear melalui pengukuhan yang tepat, demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat sekitar serta menjaga keberlanjutan ekosistem hutan Indonesia," ujar Agus. Proses pengukuhan berdasarkan pasal 15 UU Kehutanan harus melalui proses 4 tahap, yakni penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR (Aspekpir) Indonesia, Setiyono, menyampaikan kekhawatiran petani sawit rakyat terhadap implementasi Perpres No 5 Tahun 2025. Aturan tersebut justru menimbulkan keresahan, khususnya di kalangan petani yang telah lama memiliki sertifikat resmi atas lahannya. “Kami ini petani sawit, dulunya bagian dari program PIR Transmigrasi, dan lahan kami sudah bersertifikat sejak puluhan tahun. Tapi tiba-tiba dinyatakan sebagai kawasan hutan. Tentu kami sangat terkejut dan khawatir,” ungkap Setiyono.