Keadilan Buruh, Keadilan Sosial

Radar Lampung Baca Koran--

Namun, transisi ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara otomatis atau adil; pekerja dari kalangan bawah yang paling minim akses ke pendidikan akan menjadi korban utama dari pergeseran ini.

Indonesia menghadapi tantangan besar di bidang ini. Kualitas pendidikan tenaga kerja yang rendah, disparitas akses antarwilayah, serta lambannya reformasi sistem pelatihan kerja menjadi batu sandungan serius dalam upaya menghadapi revolusi ini.

Tanpa intervensi negara yang proaktif dalam membangun ekosistem pendidikan dan pelatihan yang adaptif, revolusi industri justru akan memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi.

Sebagian besar buruh di Indonesia masih berada di sektor informal — sektor yang secara historis tumbuh karena ketidakmampuan ekonomi formal menyerap seluruh tenaga kerja.

Di sektor ini, buruh bekerja tanpa kontrak formal, tanpa jaminan kesehatan, tanpa perlindungan ketenagakerjaan, dan dengan pendapatan yang jauh di bawah standar hidup layak.

Pekerja sektor informal ini meliputi pedagang kaki lima, buruh bangunan lepas, pekerja rumah tangga, hingga pengemudi ojek online. Mereka sering kali tidak terorganisir dalam serikat pekerja, sehingga suaranya nyaris tidak terdengar dalam perumusan kebijakan publik.

Selama pandemi, mereka termasuk kelompok yang paling terdampak, dengan banyak di antara mereka yang kehilangan sumber penghidupan tanpa adanya jaring pengaman sosial yang efektif.

Sayangnya, berbagai kebijakan ketenagakerjaan nasional masih terlalu fokus pada buruh formal, dengan program-program bantuan sosial yang bersifat karitatif dan tidak berkelanjutan.

Tanpa upaya serius untuk membangun skema perlindungan sosial universal yang menjangkau pekerja informal, maka peringatan Hari Buruh akan tetap menjadi seremoni kosong bagi mayoritas tenaga kerja Indonesia.

Isu upah minimum selalu menjadi jantung dari tuntutan buruh di Indonesia. Setiap tahun, diskusi tentang penetapan upah minimum menjadi polemik antara serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah.

Secara teoritis, upah minimum ditujukan untuk melindungi pekerja dari eksploitasi dan menjamin standar hidup layak. Namun dalam praktiknya, upah minimum seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya, apalagi memberikan ruang bagi pengembangan kualitas hidup.

Upah minimum yang ditetapkan berdasarkan formula pertumbuhan ekonomi dan inflasi, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, secara substansial mengabaikan kebutuhan riil pekerja.

Ketentuan ini lebih mengutamakan prediktabilitas biaya produksi bagi pengusaha ketimbang memperhatikan kelayakan hidup pekerja. Di sisi lain, kebijakan tersebut meminggirkan konsep kebutuhan hidup layak (KHL) yang semestinya menjadi standar utama dalam penetapan upah.

Di banyak daerah, upah minimum bahkan tidak sebanding dengan biaya hidup. Misalnya, di kawasan industri besar seperti Jabodetabek, para buruh mengeluhkan bahwa meskipun upah minimum naik, biaya sewa tempat tinggal, transportasi, dan kebutuhan pokok meningkat lebih cepat.

Dengan kondisi ini, banyak pekerja terjebak dalam kemiskinan pekerja (working poverty), sebuah ironi di negara yang mengklaim pertumbuhan ekonominya stabil.

Tag
Share