Keadilan Buruh, Keadilan Sosial

Radar Lampung Baca Koran--
* Oleh: Hasanudin Alam
PADA tanggal 1 Mei, yang diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, merupakan tonggak sejarah yang sarat makna dalam perjuangan kelas pekerja di seluruh dunia.
Berawal dari peristiwa Haymarket di Chicago pada tahun 1886, di mana para buruh memperjuangkan hak untuk bekerja delapan jam sehari, Hari Buruh menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan eksploitasi tenaga kerja.
Indonesia sendiri, yang mulai mengadopsi peringatan ini pada masa pergerakan kemerdekaan, menjadikan Hari Buruh bukan hanya momentum peringatan, tetapi juga medan perjuangan untuk memperbaiki nasib kaum pekerja.
BACA JUGA:DPRD: Upah Buruh Harus Ada Rasa Keadilan
Dalam konteks Indonesia modern, Hari Buruh tidak hanya menjadi ajang turun ke jalan, melainkan juga sarana refleksi terhadap berbagai dinamika ketenagakerjaan yang terus bergulir.
Meskipun telah lebih dari satu abad berlalu sejak tuntutan jam kerja layak itu dikumandangkan, persoalan mendasar dalam dunia kerja ternyata belum benar-benar selesai. Upah yang belum memenuhi standar hidup layak, jam kerja yang seringkali melampaui batas, hingga masih lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja, menjadi ironi dalam era yang disebut-sebut sebagai zaman kemajuan dan kesejahteraan.
Lebih jauh, perkembangan teknologi dan globalisasi membawa tantangan baru. Revolusi industri 4.0, dengan hadirnya otomatisasi dan digitalisasi, menciptakan transformasi besar dalam struktur dunia kerja.
Banyak jenis pekerjaan tradisional yang mulai tergerus, sementara jenis pekerjaan baru muncul dengan tuntutan keterampilan yang jauh berbeda.
Fenomena ini, alih-alih membuka peluang baru secara merata, justru memperlebar kesenjangan antara pekerja yang mampu beradaptasi dengan perubahan, dan mereka yang tersisih oleh ketidakmampuan struktural untuk mengakses pendidikan serta pelatihan ulang.
Ironisnya, di tengah retorika pembangunan ekonomi dan peningkatan investasi, buruh seringkali hanya diposisikan sebagai komponen produksi semata, bukan sebagai subjek pembangunan yang hak-haknya harus dijunjung tinggi.
Kebijakan ketenagakerjaan kerap berpihak pada fleksibilitas pasar ketimbang perlindungan pekerja, sebagaimana terlihat dalam regulasi-regulasi kontroversial seperti Omnibus Law yang mengubah berbagai ketentuan terkait hak pekerja dengan dalih menarik investasi.
Peringatan Hari Buruh sejatinya bukan hanya sekedar ritual tahunan, melainkan panggilan untuk mengingatkan semua pihak: negara, pengusaha, dan masyarakat sipil, bahwa kesejahteraan pekerja adalah fondasi utama keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan.
Negara bertanggung jawab memastikan keseimbangan antara kebutuhan dunia usaha dan perlindungan pekerja, sedangkan perusahaan wajib memandang pekerja bukan sekadar faktor produksi, melainkan sebagai mitra dalam pertumbuhan bisnis.