Transformasi Ekonomi ala Prabowonomics: Solusi atau Delusi?

ILUSTRASI Transformasi Ekonomi ala Prabowonomics: Solusi atau Delusi? -FOTO MAULANA PAMUJI GUSTI/HARIAN DISWAY -
Melalui terobosan prabowonomics dengan menekankan pentingnya hilirisasi sumber daya alam, yakni memaksimalkan pengolahan hasil sumber daya di dalam negeri, alih-alih hanya mengekspor bahan mentah.
Kebijakan itu bertujuan menciptakan nilai tambah, membuka ribuan bahkan jutaan lapangan kerja, dan meningkatkan penerimaan negara. Nilai tambah yang diperoleh dari kebijakan hilirisasi memang memiliki dampak besar.
Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan, jika berupa bijih nikel, harganya hanya 30 dolar AS per ton. Namun, saat diolah lebih lanjut menjadi nickel pig iron (NPI), harganya naik 3 kali lipat menjadi USD 90 per ton.
Selanjutnya, apabila berupa ferronickel, harga nikel ore naik 6,76 kali atau menjadi USD 203 per ton, lalu menjadi produk nikel matte naik 43,9 kali lipat menjadi USD 1.317 dolar, dan dijadikan mix hydro precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai meningkat 120,94 kali menjadi USD 3.628 per ton.
Terlebih, jika nanti terdapat pabrik baterai yang mengubah bijih nikel menjadi LiNiMnCo di Indonesia, nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat. Saat ini, terdapat 34 smelter nikel yang sudah beroperasi dan 17 smelter sedang dalam konstruksi yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Banten (Kemenperin 2023).
Investasi yang telah dibenamkan di Indonesia dari smelter tersebut sebesar USD 11 miliar atau sekitar Rp 165 triliun untuk jenis pyrometalurgi dan USD 2,8 miliar atau sekitar Rp 40 triliun untuk hydrometalurgi yang memproduksi MHP sebagai bahan baku baterai.
Keberadaan sejumlah smelter tersebut turut mendongkrak perekonomian daerah. Di Sulteng, pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata 7 persen menjadi 15 persen. Serupa di Maluku Utara, sebelumnya rata-rata pertumbuhan di angka 5,7 persen, setelah hilirisasi, menjadi 23 persen dalam setahun.