Kamis, 19 Jun 2025
Network
Beranda
Berita Utama
Ekonomi Bisnis
Lampung Raya
Politika
Olahraga
Metropolis
Lainnya
Advertorial
Edisi Khusus
Iklan Baris
Sosok
Bursa Kerja
Arsitektur
Wisata dan Kuliner
Otomotif
Teknologi
Lifestyle
Kesehatan
Hobi
Kriminal
Pendidikan
Edisi Ramadan
Network
Beranda
Edisi Ramadan
Detail Artikel
Perempuan dan Puasa Ramadan
Reporter:
Anggi Rhaisa
|
Editor:
Syaiful Mahrum
|
Rabu , 19 Mar 2025 - 16:56
--FOTO ISTIMEWA
perempuan dan puasa ramadan oleh: nabila zainuri, m.pd., cdai. dosen pendidikan agama islam fakultas kedokteran unila ramadan adalah bulan yang sangat dinanti oleh umat islam. namun, tidak semua orang bisa mengisi bulan ini dengan ibadah yang optimal. hal ini bisa disebabkan berbagai faktor, seperti masalah kesehatan, kesempatan, atau hal-hal yang sulit dihindari seperti perempuan yang sedang haid. secara otomatis, puasa seseorang batal ketika darah haid keluar. meskipun, ia telah menahan lapar seharian hingga hampir waktu magrib. karena batalnya puasa ini, ia diwajibkan untuk menggantinya (qadha) setelah bulan ramadan selesai. dalam kitab taqrib, dijelaskan bahwa ada delapan jenis ibadah yang dilarang bagi perempuan sedang haid atau nifas. yakni salat, puasa, membaca alquran, menyentuh atau membawa mushaf, masuk masjid, tawaf, jima, dan lainnya. bulan ramadan adalah waktu yang sangat baik untuk memperbanyak kebaikan. meskipun perempuan yang sedang haid atau nifas memiliki batasan dalam melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, mereka masih dapat melakukan banyak ibadah lainnya. salah satu contoh ibadah yang bisa dilakukan adalah mencari ilmu, berzikir, berdoa, dan kegiatan sosial. ramadan adalah bulan di mana umat islam diwajibkan untuk berpuasa selama sebulan penuh. namun, ada mereka yang tidak mampu atau memiliki alasan tertentu. seperti orang yang sudah lanjut usia, sakit, atau sedang dalam perjalanan. orang-orang ini diberikan keringanan untuk tidak berpuasa. lantas, bagaimana dengan perempuan yang sedang hamil? apakah mereka juga mendapatkan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa? syekh nawawi bin umar al-bantani dalam kitab nihayatuz zain menjelaskan bahwa hukum puasa ramadan bagi perempuan hamil dapat dibagi menjadi tiga kondisi. pertama, puasa ramadan menjadi makruh bagi perempuan hamil jika ada dugaan bahwa berpuasa dapat membahayakan kesehatannya dan wajib menggantinya pada hari lain. kedua, puasa ramadan bisa menjadi haram bagi perempuan hamil jika ada keyakinan atau dugaan kuat bahwa berpuasa dapat menimbulkan bahaya. seperti mengancam nyawa atau menyebabkan kerusakan pada tubuh. dalam kondisi seperti ini, perempuan hamil diwajibkan untuk tidak berpuasa. ketiga, perempuan hamil tetap wajib berpuasa jika rasa sakit yang dirasakannya masih tergolong ringan dan tidak ada indikasi bahaya yang cukup serius. dalam kondisi ini, haram bagi perempuan hamil untuk tidak berpuasa. ia harus tetap menjalankan puasa selama tidak ada risiko yang memperburuk kondisinya. jika ia tidak berpuasa, wajib mengganti puasa di hari lain. sama seperti orang yang sakit, perempuan hamil umumnya memiliki tiga kondisi yang berpengaruh pada keputusan apakah mereka wajib atau tidak menjalankan puasa di bulan ramadan. tiga keadaan ini secara ringkas dijelaskan dalam kitab nihayah az-zain syarh qurratul ‘ain: ''bagi orang sakit terdapat tiga keadaan. pertama, ketika ia menduga akan terjadi bahaya pada dirinya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka makruh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk tidak berpuasa. kedua, ketika ia yakin atau memiliki dugaan kuat (dhann) akan terjadi bahaya atau uzur yang mengenainya akan berakibat pada hilangnya nyawa atau hilangnya fungsi tubuh, maka haram baginya berpuasa dan wajib untuk tidak berpuasa. ketiga, ketika rasa sakit hanya ringan, sekiranya ia tak menduga akan terjadi bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka haram baginya tidak berpuasa dan wajib untuk tetap berpuasa selama tidak khawatir sakitnya bertambah parah. sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani, nelayan, buruh, perempuan hamil dan menyusui, meskipun kehamilan hasil dari zina atau wathi syubhat.” (syekh muhammad bin ‘umar bin ‘ali bin nawawi al-bantani, nihayah az-zain syarh qurratul ‘ain, juz 1, hal. 367) dalam konteks perempuan hamil, tatkala dalam kondisi diperbolehkan tidak puasa, maka terkait kewajiban mengganti puasanya terdapat dua perincian. pertama, ketika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi fisiknya atau khawatir kondisi fisiknya sekaligus kondisi kandungannya, maka dalam dua keadaan tersebut ia hanya diwajibkan mengqadha puasanya. kedua, ketika ia hanya khawatir pada kondisi kandungannya, dalam keadaan demikian ia berkewajiban mengqadha puasanya sekaligus membayar fidyah. mengenai dua perincian ini, dalam hasyiyah al-qulyubi dijelaskan: ''perempuan hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab syarh al-muhadzab), maka wajib mengqadha puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit. sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-adzhar.” (syihabuddin al-qulyubi, hasyiyah al-qulyubi ala al-mahalli, juz 2, hal. 76) namun, kewajiban puasa akan batal jika perempuan hamil memiliki alasan atau perkiraan (wahm) bahwa berpuasa dapat membahayakan kesehatannya. seperti memperburuk kondisi sakit atau membuat fisiknya lemah. bahkan jika ada keyakinan atau dugaan kuat bahwa puasa dapat membahayakan kesehatan ibu dan keselamatan janin, maka ia diwajibkan untuk tidak berpuasa demi menjaga nyawa (hifdh an-nafs). karena keputusan mengenai hal-hal tersebut membutuhkan pertimbangan yang sangat hati-hati, sebaiknya perempuan hamil tidak membuat penilaian sendiri tentang kondisi fisik dan kesehatan kandungannya. sebaliknya, ia harus berkonsultasi dengan dokter kandungan muslim (atau bidan) yang dapat menilai apakah berpuasa atau tidak lebih bermanfaat bagi kesehatannya. jika dokter kandungan menilai bahwa puasa tidak membahayakan kesehatan ibu dan kandungannya,perempuan tersebut tetap diwajibkan untuk berpuasa. sebaliknya, jika dokter kandungan menyatakan bahwa berpuasa dapat membahayakan fisik dan kandungan, kewajiban puasa tidak berlaku untuknya. (*)
1
2
3
4
»
Tag
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi Koran Radar Lampung 20 Maret 2025
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Iklan Baris 19 Juni 2025
Iklan Baris
8 jam
Itera Klarifikasi Dugaan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus
Metropolis
1 hari
Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Gerbang Rumah Dinas Bupati Lamtim Bertambah
Metropolis
1 hari
DPRD Kota Bandar Lampung Gelar Paripurna Istimewa Peringati HUT Ke-343 Kota Bandar Lampung
Advertorial
1 hari
Satu dari Dua Begal Motor yang Seret Bocah di Bandar Lampung Ditangkap, Satu Pelaku Masih Buron
Metropolis
1 hari
1.570 Jamaah Haji Lampung Telah Kembali ke Tanah Air
Berita Utama
1 hari
Berita Pilihan
Teluk Kiluan: Menjaga Harmoni Pesisir bersama Generasi-Z Berbakti Lampung
Ekonomi Bisnis
2 hari
Jay Idzes Diminati Inter Milan
Olahraga
2 minggu
Sekolah Gratis, Swasta Terancam Mati!
Berita Utama
2 minggu
Pembelian Mobil Listrik Rp931 Juta per Unit Bikin Bengkak APBN
Ekonomi Bisnis
2 minggu
Pekerja dengan Gaji di Bawah Rp3,5 Juta Bakal Terima BSU Rp300 Ribu per Bulan
Ekonomi Bisnis
2 minggu