Pengamat Soroti Potensi Beban Ekstra Akibat Penghapusan Aturan Presidential Threshold oleh MK
Karyono Wibowo, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) - IST--
MK juga menyatakan bahwa aturan Presidential Threshold bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, serta melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan keadilan. “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berapa pun besaran atau angka persentasenya, bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945,” kata Wakil Ketua MK, Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan hukum.
Keputusan ini membuka jalan bagi calon presiden dari partai manapun untuk mencalonkan diri tanpa harus memenuhi ambang batas suara atau dukungan partai politik tertentu, yang sebelumnya ditetapkan 20%.
Sebelumnya pengamat politik Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) Candrawansyah menyampaikan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) adalah syarat minimal dukungan partai politik atau koalisi partai politik di parlemen untuk mencalonkan seorang presiden dan wakil presiden.
’’Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini telah lama menjadi perdebatan dalam sistem politik Indonesia,” ujarnya, Jumat (3/1).
Menurutnya, penyampaian MK yang menyebutkan bahwa norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat tentu sangat berarti bagi partai politik dan tokoh-tokoh bangsa untuk berkompetisi dalam membangun bangsa,” katanya.
Tentunya, dengan putusan MK 62/PUU-XXII/2024 tersebut membawa angin surga bagi semua partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. “Serta memberikan banyak pilihan kepada rakyat dalam menentukan siapa calon yang terbaik dari para pasangan calon nanti,” tambahnya.
Namun, lanjut dia, meskipun peluang terbuka tantangan berikutnya adalah keberanian dan keinginan partai politik di dalam mempersiapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden 2029-2034.
“Masih ada waktu lama dalam mempersiapkan kader partai terbaik untuk menjadi pemimpin bangsa, bukan malah berkoalisi untuk mengusulkan kader partai lain dalam pencalonan,” ucapnya.
Ia juga mengapresiasi, bahwa MK telah memberikan hak politik warga negara untuk memilih calon yang berkualitas. “Hanya menunggu calon terbaik yang diusung oleh partai,” jelasnya.
Menurutnya, MK juga menilai bahwa tersedianya cukup banyak alternatif pasangan calon yang beragam dapat dipahami sebagai upaya keselamatan rakyat.
“Tidak seperti pemilu-pemilu sebelum yang minim calon dan harus mendapatkan dukungan partai 20℅ minimal kursi DPR RI atau 25℅ suara partai secara nasional,” tutupnya.
Terpisah, putusan MK tersebut mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari anggota DPRD Lampung.
Sekretaris Komisi III DPRD Lampung Ikhwan Fadil Ibrahim menilai putusan MK mengenai ambang batas pencalonan presiden memberikan banyak pilihan pemimpin kepada rakyat.
’’Ini terobosan demokrasi dan ikhtiar memberikan pilihan kepemimpinan yang semakin banyak untuk rakyat. Putusan MK yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden bisa berkontribusi bagi perkembangan demokrasi di Indonesia,” ujarnya.