Pemerintah Harus Berani Hentikan Pembayaran Obligasi Rekap BLBI
Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho.-FOTO ISTIMEWA -
Salah Satu Opsi Selamatkan APBN
JAKARTA – Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi energi dan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPn) menjadi 12 persen disorot sejumlah pihak. Pemerintah menghadapi proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang mencapai Rp600 triliun.
Menurut pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho, salah satu opsi menyelamatkan APBN adalah menghentikan pembayaran obligasi rekapitaliasi yang selama ini membebani anggaran negara. Pembayaran obligasi rekap bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank besar yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak lagi relevan dan justru merugikan rakyat.
”Setiap tahun, Rp50 triliun–Rp70 triliun dari APBN dialokasikan untuk membayar obligasi rekap ini. Sementara itu, rakyat diminta untuk menanggung kenaikan PPn dan subsidi energi dipangkas,” tegas Hardjuno.
Kandidat doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga itu menjelaskan, pemerintah harus berani mengambil langkah progresif untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI. Alokasi anggaran tersebut sudah tidak sesuai dengan prinsip keadilan fiskal.
BACA JUGA:Emas Perhiasan Alami Inflasi Selama 15 Bulan Terakhir
”Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk subsidi energi atau program lain yang lebih langsung menyentuh kebutuhan masyarakat,” ujar Hardjuno.
Hardjuno menjelaskan, jika pemerintah menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, anggaran sebesar Rp50 triliun–Rp70 triliun per tahun bisa digunakan untuk menutup sebagian defisit APBN tanpa harus menaikkan PPn atau mengurangi subsidi energi.
”Langkah ini tidak hanya akan meringankan beban APBN, tetapi juga memberikan kelegaan bagi rakyat yang sudah terbebani oleh kenaikan harga-harga dan inflasi. Naik PPn dapat Rp100 triliunan tapi harga-harga melambung tinggi daya beli makin tergerus, bandingkan dengan moratorium pembayaran bunga rekap BLBI,” papar Hardjuno.