Menakar Dampak Pemutihan Kredit Macet Petani dan Nelayan
--
Bak gayung bersambut, Prabowo Subianto pun pada 25 Oktober 2024 mewacanakan akan menghapus utang bank bagi kurang lebih 6 juta nelayan dan petani. Sebagaimana diketahui, hapus buku dan hapus tagih adalah tindakan terakhir yang dilakukan bank terhadap kredit macet yang sudah tidak bisa ditagih lagi.
Itu juga akan berpengaruh pada pemutihan SLIK OJK. Artinya, para petani dan nelayan tidak lagi di-blacklist dari data perbankan. Dengan begitu, mereka bisa kembali mengajukan kredit dan pembiayaan.
Pasalnya, selama ini bank BUMN hanya bisa menghapus-bukukan kredit macet sehingga UMKM, termasuk petani dan nelayan, statusnya masih tetap terdata di SLIK OJK sebagai kreditur aktif meskipun belum bisa melunasi utangnya.
Kredit macet sering kali menjadi masalah pelik bagi petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil menengah (UMKM). Sebab, utang yang menumpuk dapat menghambat produktivitas mereka dan membatasi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
Efek berganda kredit macet menciptakan beban ekonomi yang berat yang pada gilirannya memengaruhi kesejahteraan mereka dan perputaran roda ekonomi secara keseluruhan. Padahal, kontribusi UMKM, sebagai salah satu elemen penyangga perekonomian nasional, masih sangat tinggi.
Di saat perlambatan ekonomi global yang kian menekan penerimaan negara, UMKM masih relatif tangguh memberikan sumbangsih yang cukup signifikan.
Bahkan, di tengah sejumlah korporasi bertumbangan di tengah perlambatan ekonomi global, sektor UMKM masih menunjukkan keperkasaannya dalam mengarungi kondisi ekonomi yang sulit.
UMKM, MESIN PENGGERAK PEREKONOMIAN
Menkeu Sri Mulyani, pada acara seminar microfinance outlook dengan para bankir pada Maret 2024, mengatakan bahwa kontribusi sektor UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) begitu sangat besar.
Dengan persentase sebesar 61 persen yang bernilai Rp 8.574 triliun setiap tahun, UMKM Indonesia jauh melampaui jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Di samping sebagai salah satu elemen penyumbang PDB yang sangat menjanjikan, angka serapan UMKM terhadap tenaga kerja juga cukup tinggi.
Adapun daya serap tenaga kerja UMKM itu sekitar 117 juta pekerja (97 persen), lebih tinggi daripada beberapa negara Asia lainnya seperti Thailand (85,5 persen), Korea Selatan (83,1 persen), Jerman (79 persen), Singapura (71,4 persen), Pakistan (70 persen), Jepang (70 persen), dan Malaysia (66,2 persen).
Meski sempat goyah didera pandemi Covid-19, sekitar 60 juta lebih pelaku sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tetap bergerak dan survive. Bahkan, mereka mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi melebihi sektor-sektor lainnya.
Tak dimungkiri, mereka pernah memiliki pengalaman yang hampir mirip dengan kondisi krisis ekonomi 1998 dan 2008. Kendati ujian cukup berat, sektor itu mampu survive di tengah badai, bahkan tetap mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi hingga 61,07 persen PDB (Kemenko Perekonomian, 2023)
Melihat potensi besar yang ditorehkan UMKM dalam pertumbuhan ekonomi nasional, gagasan pemerintah untuk memutihkan kredit macet nelayan dan petani patut disambut positif.
Kebijakan itu sejalan dengan tujuan jangka panjang untuk meringankan beban petani dan nelayan yang memiliki utang lama, bahkan sebelum masa pandemi Covid-19.