Menakar Dampak Pemutihan Kredit Macet Petani dan Nelayan

--

Kebijakan pemutihan diharapkan dapat membantu sektor perbankan untuk kembali menyalurkan kredit, khususnya bagi petani dan nelayan yang membutuhkan modal tambahan untuk pengembangan usaha, terutama di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. 

Dukungan pemerintah dalam bentuk stimulus tambahan boleh jadi termasuk dukungan dalam bentuk suntikan dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). 

Dengan dukungan itu, proses restrukturisasi utang dapat berjalan optimal tanpa menggerus cadangan bank secara signifikan. Sebab, bank pun telah mempersiapkan langkah mitigasi yang diperlukan terkait dengan hapus buku dan tagih kredit macet. 

Kebijakan pemutihan utang itu juga merupakan pengembangan kebijakan pasca penerbitan aturan UU No 4 Tahun 2023 (UU P2SK) yang memperbolehkan bank-bank BUMN untuk melakukan hapus tagih dan tidak dihitung sebagai kerugian negara. 

Berdasar catatan OJK per Agustus 2024, penyaluran kredit perbankan ke sektor pertanian tercatat Rp 517,253 triliun per Agustus 2024, naik 6,9 persen yoy bila dibandingkan dengan periode sebelumnya Rp 483,862 triliun. 

Dari jumlah tersebut, kredit yang berubah status menjadi macet atau non performing loan (NPL) mencapai Rp 10,755 triliun per Agustus 2024, naik 14,85 persen yoy dari tahun sebelumnya Rp 9,364 triliun. 

Sementara itu, kredit ke sektor perikanan tercatat Rp 20,492 triliun per Agustus 2024, menurun 0,29 persen yoy bila dibandingkan tahun lalu Rp 20,552 triliun. Dari jumlah tersebut, yang jatuh menjadi NPL tercatat Rp 1,115 triliun, turun 2,10 persen yoy dari tahun lalu Rp 1,139 triliun. 

Namun, di sisi lain, pemerintah seharusnya juga mempertimbangkan beberapa faktor seperti dampak negatif dari kebijakan itu. 

Pertama, fasilitas pemutihan utang macet itu merangsang pihak debitur selalu mengandalkan program pemutihan dalam penyelesaian kewajibannya. 

Karena itu, bila peraturan tersebut hendak direalisasikan, harus dipertimbangkan target penerima fasilitas pemutihan dengan jelas dan tepat sasaran dan tidak bertentangan dengan UU Perbankan yang ada sehingga bank juga tidak dirugikan. 

Kedua, ke depan perlunya melibatkan institusi koperasi dalam penyaluran kembali kredit pembiayaan pada para nelayan dan petani pasca mendapat fasilitas pemutihan. 

Dana pinjaman akan disalurkan melalui koperasi yang berkolaborasi dengan pihak bank dalam mengawasi penggunaan dana oleh anggotanya (UKM petani, perkebunan, dan nelayan). Pendekatan berbasis kelompok itu diharapkan menumbuhkan tanggung jawab bersama dan meminimalkan risiko gagal bayar. 

Dengan skema itu, koperasi diharapkan tidak hanya menjadi agen penyalur kredit, tetapi juga menjadi motor penggerak yang mendukung peningkatan produksi pangan lokal. Juga, meningkatkan perekonomian dan taraf kesejahteraan anggota di perdesaan melalui mobilisasi badan usaha milik desa (BUMDes). (*)

*)Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan