Aroma Kesetaraan Gender Tiga Srikandi di Pilgub Jatim
ILUSTRASI aroma kesetaraan gender tiga Srikandi di Pilgub Jatim. Mereka adalah Tri Rismaharini, Khofifah Indar Parawansa, dan Luluk Nur Hamidah.-FOTO MAULANA PAMUJI GUSTI/HARIAN DISWAY -
Secara bertahap, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang kesenjangan upah dan kesempatan kerja yang sama antara pria dan wanita. Selain itu, pemerintah dan sektor swasta dapat berperan dalam menciptakan kebijakan yang memastikan upah yang setara dan kesempatan kerja yang adil bagi semua jenis kelamin.
Meski demikian, terdapat batasan tak kasatmata yang secara tidak langsung berlaku kepada perempuan untuk mencapai posisi yang tinggi yang disebut sebagai glass ceiling. Itu menyulitkan wanita untuk mencapai posisi yang tinggi dan tentu menghambat wanita untuk mencapai cita-citanya.
Jika diartikan secara harfiah, glass ceiling adalah sebuah batasan atau sering juga disebut sebagai langit-langit kaca. Glass ceiling merupakan sebuah hambatan atau halangan bagi kaum perempuan untuk maju, seperti memiliki jabatan tinggi atau menjabat sebagai pimpinan di lingkungan di mana dia berada (Y. Arianto B.N., 2018).
Di ranah politik, diperlukan upaya secara kontinu untuk mendorong partisipasi politik wanita dengan memberikan pelatihan dan pendidikan politik serta dukungan dan jaringan yang luas.
Kebijakan publik yang memperhatikan kepentingan wanita dan mendorong pengambilan keputusan yang inklusif dan setara juga diperlukan. Perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda.
Pendekatan Teori Nurture seakan menguatkan indikasi bahwa adanya perbedaan membuat wanita selalu tertinggal dan terabaikan dalam hal peran dan kontribusinya di kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis dan perempuan sebagai kelas proletar (Sasongko, 2009).
Sebaliknya, menurut Teori Nature, adanya pembedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda.
Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Di samping kedua aliran tersebut, terdapat jalan kompromistis yang dikenal dengan teori keseimbangan (ekuilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki.
Pandangan itu tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki. Sabab, keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Adapun garis tegas dinyatakan sosiolog Talcott Parsons dalam teorinya, ”Ketimpangan Gender”, bahwa ”pencari nafkah” laki-laki memenuhi peran instrumental dengan menjadi berorientasi pada tugas dan berwibawa, sedangkan ”ibu rumah tangga” perempuan mewujudkan peran ekspresif dengan memberikan dukungan emosional.
TANTANGAN KE DEPAN
Kian terbukanya ruang publik terhadap kehadiran peran dan kiprah wanita tak jarang mendapati sejumlah kendala sosioekonomi-kultural.
Di antaranya, pertama, masalah kapasitas finansial individu yang bersangkutan. Gambaran alam bawah sadar yang masih kuat di benak publik bahwa peran wanita hanyalah ”pelengkap di dapur” kerap kali dipandang sebagai stigma yang menjadi beban psikis.
Wanita pemimpin acap kali terkendala sumber daya keuangan. Mereka memiliki tanggung jawab untuk berdaya secara ekonomi dan memanfaatkan modal sosial yang dimiliki.