JAKARTA - Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menanggapi rencana kodifikasi atau penggabungan undang-undang pemilu dan pilkada.
Menurutnya, sebagai penyelenggara pemilu yang menjalankan amanah undang-undang, perbaikan regulasi diperlukan untuk memberikan kepastian hukum.
"Bawaslu menerima apapun yang akan diamanatkan undang-undang karena kami hanya pelaksana. Namun, kami menitipkan harapan perbaikan regulasi ini kepada Bappenas, pemerintah, akademisi, dan pemantau pemilu," ujar Bagja saat diskusi tentang urgensi kodifikasi undang-undang pemilu dan pilkada yang diselenggarakan Bappenas di Jakarta, Senin 27 Mei 2024.
Bagja menjelaskan bahwa kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada diperlukan karena adanya tumpang tindih atau kontradiksi norma dalam undang-undang yang berbeda.
BACA JUGA:Pleno Penetapan, Berikut Nama-nama 50 Anggota DPRD Bandar Lanpung Terpilih Yang Bakal Dilantik
"Ada pengaturan yang berbeda atas isu yang sama oleh penyelenggara yang sama, aturan yang tidak jelas atau multitafsir, dan perlunya kepastian hukum. Kodifikasi ini mencakup UU Pemilu, UU Pilkada, putusan MK, dan kebutuhan norma hukum atas suatu keadaan atau kekosongan hukum," jelasnya.
Bagja melanjutkan, isu strategis dalam kodifikasi UU mencakup kampanye, kelembagaan, kewenangan, penegakan hukum, politik uang, syarat calon, sistem informasi, dan lainnya.
"Misalnya soal kampanye, ada perbedaan definisi dalam UU Pilkada dan Pemilu. UU Pilkada tidak menjelaskan siapa subjek yang melakukan kampanye dan tidak memuat objek citra diri," tuturnya.
Bagja juga menyoroti larangan kampanye di tempat pendidikan yang perlu mengadopsi putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023.
BACA JUGA:Tim SAR Gabungan Akhirnya Temukan Jasad Korban Tertimbun Longsor di Datar Lebuay
"Kemudian, pelaksana kampanye dalam UU Pilkada hanya tim kampanye. Idealnya diatur seperti UU Pemilu yang juga mencakup pelaksana kampanye yang terdaftar. Selain itu, UU Pilkada belum memuat metode kampanye melalui media sosial dan internet serta metode rapat umum. Larangan kampanye perlu mencakup penjelasan tentang larangan penggunaan fasilitas jabatan," tambahnya.
Master Hukum dari Utrecht University ini juga menekankan pentingnya perbaikan kelembagaan pengawas pemilu.
"Panwaslu Kabupaten Kota dalam UU Pilkada adalah Bawaslu Kabupaten Kota dalam UU Pemilu sesuai Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019. Nama PPL (Pengawas Pemilu Lapangan) dalam UU Pilkada sebaiknya disesuaikan menjadi PKD (Pengawas Kelurahan/Desa) dalam UU Pemilu," ujarnya.
Bagja juga mengkritisi aturan teknis dalam UU Pilkada yang masih menggunakan hari kalender, sementara seharusnya dimaknai sebagai hari kerja sesuai UU Pemilu.
BACA JUGA:KPU Metro Lampung Tetapkan 5 Caleg Terpilih