Bagaimana Proses Otak LGBT Memproduksi Bahasa?
RADAR - BACA KORAN--
Oleh: Nahdliya Izzatul Mutammimah
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Unila
BAHASA bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cermin yang memantulkan cara kerja otak dan pembentukan identitas manusia. Dalam komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), bahasa berkembang menjadi sarana ekspresi yang khas: “aku” menjadi “eke”, “enak” berubah menjadi “endul”, dan “mahal” menjadi “mehong”.
Sekilas tampak seperti permainan kata, tetapi dalam pandangan psikolinguistik, bentuk-bentuk ini mencerminkan proses kognitif dan emosional yang kompleks di dalam otak manusia modern yang sangat responsif terhadap pengalaman sosialnya.
Menurut Nickerson dalam kajian neurolinguistik, orientasi seksual berhubungan dengan struktur otak tertentu, terutama pada bagian anterior cingulate cortex (ACC) dan lobus temporal kiri, dua area yang berperan penting dalam pengolahan bahasa, perhatian, dan emosi sosial.
Penelitian Manzouri dan Savic menggunakan MRI multimodal menemukan bahwa kedua area ini lebih tebal dan lebih aktif pada pria homoseksual dibandingkan pria heteroseksual. Hal ini tidak menunjukkan penyimpangan, melainkan variasi biologis yang memperlihatkan keragaman cara otak manusia memproses pengalaman sosial, makna, dan simbol linguistik dalam kehidupan sehari-hari.
Selaras dengan itu, Eva Grau-Husarikova menjelaskan bahwa bahasa terbentuk melalui koordinasi antara sistem linguistik dan sistem sosial-emosional otak. Pada komunitas LGBT, koordinasi ini tampak dalam kreativitas berbahasa yang melahirkan istilah dan struktur unik sebagai bentuk ekspresi diri dan solidaritas kelompok. Kata seperti “endul” atau “mehong” berfungsi bukan hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk menciptakan ruang keakraban, humor, serta perlindungan sosial dari stigma. Fenomena ini juga menunjukkan plastisitas otak, yakni kemampuan otak beradaptasi dengan pengalaman dan lingkungan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Zhang dan Cook, pengalaman sensorik dan sosial dapat mengubah struktur serta fungsi otak secara signifikan. Karena itu, variasi bahasa LGBT mencerminkan hasil interaksi antara faktor biologis, kognitif, dan sosial.
Melalui bahasa, komunitas ini tidak hanya berbicara. Tapi, juga menegaskan identitas, mengekspresikan emosi, dan menemukan ruang aman bagi keberadaannya di tengah masyarakat. Bahasa juga berfungsi sebagai alat politik mikro yang memungkinkan negosiasi kekuasaan dalam relasi sehari-hari tersebut. (*)