Radar Lampung salah satunya. Surat kabar dengan jaringan terluas di Lampung ini lahir dengan embel-embel Grup Jawa Pos di belakang namanya. Namun sejak sang Bos Dahlan Iskan hengkang dari Jawa Pos, Radar Lampung kini bernaung di bawah bendera PT. WSM (Wahana Semesta Merdeka) yang membawahi lebih dari 100 media cetak, televisi dan media online yang tersebar diwilayah Sumbagsel (Jambi, Bengkulu, Sumsel, Bangka Belitung, Lampung) dan Sebagian wilayah Jawa (Banten, Jabar, Jogja dan lain-lain).
Radar Lampung juga kini tergabung dalam jaringan nasional disway.id yang kini fokus mengembangkan media digital berupa media online dan koran hybrid. Untuk diketahui Radar Lampung sendiri memiliki portal resmi radarlampung.co.id dengan alamat situs radarlampung.disway.id. Sementara untuk koran hybrid didapat diakses melalui website radarlampung.bacakoran.co. Hebatnya, hanya dalam tempo kurang dari 2 tahun media digital dengan domain utama disway.id ini sudah masuk dalam 20 besar media online nasional.
Sejak lahir, Radar Lampung memang ditempa sebagai media petarung. Bayangkan saja, saat pertama kali terbit, sudah ada pemain lama yang mendominasi pasar.
Sehingga para awak redaksi dituntut harus selalu berinovasi. Bukan Radar Lampung namanya jika tidak mampu menyajikan hal-hal baru. Memang untuk menarik perhatian publik, Radar Lampung kala itu hadir dengan model liputan berbeda dengan media lain.
BACA JUGA:Roboh, Fondasi Bangunan Kantor BPKHTL Timpa Rumah Warga
Tagline Selalu Ada yang Baru yang diterapkan kala itu sangat sesuai. Koran ini memang selalu berusaha memberi kejutan kepada para pembacanya. Hal ini pula yang mengantar Radar Lampung menapaki masa keemasannya di era 2008-2013.
Namun sejak 10 tahun terakhir, masa jaya media terus meredup. Beragam tantangan datang. Yang utama adalah perubahan wujud industri media. Jika dulu persaingan terjadi hanya antarmedia, namun perkembangan teknologi merubah itu semua.
Arus digitalisasi memanjakan semua orang. Sehingga saat ini semua orang bisa menjadi pewarta lewat beragam platform media sosial (medsos). Puncaknya terjadi saat pandemi Covid-19 melanda.
Masyarakat takut membaca koran lantaran dianggap bisa menjadi media penyebar virus Covid-19. Banyaknya waktu saat bekerja di rumah (work from home/WFH) membuat masyarakat mencari alternatif lain untuk memenuhi hasrat keingintahuan mereka.
Kebutuhan masyarakat itu dijawab tuntas oleh medsos. Masyarakat semakin akrab dengan beragam platform seperti Facebook, Instagram, X (dulu bernama Twitter) dan terbaru TikTok.
Kondisi ini diperparah dengan kehadiran Artificial Inteligent (AI) yang semakin memanjakan umat manusia. AI memungkinkan seseorang membuat suatu berita atau konten, foto hingga video hanya dengan mengetikkan sebuah perintah.
Dalam waktu singkat, kecanggihan teknologi mewujudkan perintah tersebut sesuai dengan keinginan yang bersangkutan.
Imbasnya, batasan perusahaan media mainstream (arus utama) dengan media menengah bahkan non-media semakin samar. Media mainstream juga berlomba memanfaatkan beragam jenis platform agar tidak tergerus zaman.
Perlahan namun pasti, media mainstream mulai bertransformasi menjadi media digital atau online. Ribuan bahkan jutaan website berita lahir. Belum lagi akun-akun medsos yang mengatasnamakan diri media.
Sebagian dikelola oleh badan usaha. Sebagian lain diampu oleh pribadi yang belakangan lebih dikenal dengan sebutan influencer atau content creator.
Maka kini masyarakat sangat sulit membedakan informasi valid dengan hoaks. Sebuah informasi dapat dengan cepat beredar dan berubah menjadi viral atau trending topic tanpa proses verifikasi.