BANDARLAMPUNG - Penang dan beberapa rumah sakit (RS) besar di Johor dan Malaka, Malaysia, belakangan menjadi destinasi utama serta favorit warga negara Indonesia (WNI) untuk datang berobat. Angka kunjungan masyarakat Indonesia meningkat dari tahun ke tahun hingga pada awal Januari 2024. Demikian disebutkan Malaysia Healthcare Travel Council dalam rilisnya.
Kebanyakan RS di Negeri Jiran itu didatangi karena alasan istimewa. Yakni proses pendaftaran online yang mudah dilakukan secara digital serta quick response dari para tenaga kesehatan dan dokter yang ada di RS-RS tersebut. Ini tentu saja didukung manajemen hubungan pelanggan secara elektronik atau electronic customer relationship management (E-CRM) yang baik oleh pengelola RS.
Pasien yang datang dari berbagai negara, termasuk Indonesia, ketika datang ke lokasi langsung dapat melakukan registrasi dengan hanya menunjukkan tanda bukti pendaftaran secara online dan menyerahkan paspor untuk difotokopi sebagai dokumen pelengkap. Tak menunggu lama, petugas akan mempersilakan pasien menunggu dokter di ruang tunggu. Dengan demikian, kepuasan mendapatkan layanan kesehatan yang baik dapat dinikmati oleh semua pasien yang datang.
Demikian benang merah dari salah satu penelitian yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Mahrinasari, M.S. dan Prof. Dr. Satria Bangsawan yang bekerja sama dengan dua perguruan tinggi di Malaysia. Yakni Universiti Putra Malaysia yang memiliki RS Sultan Abdul Aziz Shah (HSAAS) di Selangor, Malaysia, dan RS Al-Sultan Abdullah, Universiti Teknologi MARA, Puncak Alam, Selangor.
Penelitian tersebut dilakukan di bawah pengawasan Asian Development Bank melalui Higher Education Technology and Innovation Project (HETI) yang diperoleh Unila pada 2022 dan berlangsung hingga 2025 mendatang. Proyek HETI merupakan proyek jangka panjang yang meliputi tiga aspek. Yakni pembangunan (construction), pelayanan konsultasi (consulting service), dan pengembangan kapasitas (capacity development). Proyek ini terkait dengan proyek awal untuk pembangunan rumah sakit perguruan tinggi negeri (RSPTN) yang tengah dirintis oleh Fakultas Kedokteran Unila.
’’Penelitian yang kita lakukan ini bertema E-CRM Model in Green Hospital, Technology and Green Environment Based: Gender Perspective (A Cross Country Study in Indonesia and Malaysia. Secara garis besar, penelitian ini membahas mengenai kualitas layanan pada industri jasa kesehatan di Indonesia dan Malaysia. RS yang menjadi tempat penelitian ini bertempat di Indonesia dan Malaysia. Di mana telah menerapkan kebijakan green hospital atau konsep RS hijau yang peduli dengan lingkungan sekitar. Sebab, lingkungan sekitar yang menerapkan aspek-aspek green hospital ini dalam berbagai penelitian sebelumnya terbukti dapat berpengaruh pada kualitas layanan kesehatan dan pada gilirannya akan memberikan kepuasan kepada pasien dan otomatis reputasi RS atau sarana kesehatan lainnya akan naik,” kata Prof. Mahrinasari.
Prof. Mahrinasari melanjutkan, data 2019 melaporkan bahwa pasien Indonesia mengunjungi tiga negara ASEAN untuk berobat pada 2017, yaitu Thailand, Singapura, dan Malaysia dengan angka yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Dari penelitian sebelumnya terungkap bahwa alasan pasien Indonesia mengunjungi RS Malaysia dan Singapura adalah karena rendahnya kualitas pelayanan serta pengendalian kesehatan di RS Indonesia.
BACA JUGA:Di Bawah Naungan Unila, Tak Ada Kepastian Seluruh Siswa SMA YP Unila Diterima dalam SNPMB
Selain itu, Prof. Mahrinasari, RS Malaysia memiliki teknologi dan obat-obatan canggih, harga lebih murah, reputasi RS global, serta komunikasi yang lebih baik dengan dokter dan perawat. ’’Karena itu, manajemen RS perlu mengatasi permasalahan tersebut untuk memastikan bahwa RS dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang lebih tinggi, memberikan kemudahan akses terhadap fasilitas kesehatan, dan mengurangi hambatan pelayanan kesehatan untuk mencapai keberhasilan kesehatan bangsa,’’ ungkapnya.
Dengan adanya penelitian ini, Prof. Mahrinasari dan tim peneliti lainnya sangat berharap Indonesia bisa meniru kualitas layanan yang diberikan negara-negara lainnya yang menjadi tujuan berobat pasien Indonesia. ’’Banyaknya pasien di Indonesia yang berobat ke luar negeri menyebabkan terjadi kerugian devisa bagi Indonesia,’’ katanya.
BACA JUGA:Raih Gelar Doktor MIPA, Ini Harapan Prof. Admi Syarif sebagai Promotor 2 Promovendus
Data yang diterima dari Kementerian Kesehatan, kata Prof. Mahrinasari, potensi kerugian devisa negara akibat banyaknya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri sebanyak Rp100 triliun per tahun. ’’Bayangkan jika dana ini masuk dan berputar pada industri kesehatan di Indonesia. Tentu industri kesehatan Indonesia akan semakin maju,” ujar Prof. Mahrinasari.
Jika industri kesehatan di Indonesia mau berbenah, kata Prof. Mahrinasari, pelayanan medis di Indonesia bisa jauh lebih baik. ’’Jumlah uang sebanyak itu tidak terbuang sia-sia ke luar negeri dan menyehatkan industri kesehatan di luar negeri. Kita semua sangat berharap citra RS di Indonesia meningkat karena melayani pasien di Indonesia dengan baik. Jika pasien yang mendapatkan layanan RS Indonesia mendapatkan kepuasan, mereka dapat memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia lainnya dan masyarakat global untuk juga meminta layanan RS di Indonesia. Dengan demikian, maka produk domestik bruto (PDB) Indonesia meningkat. Pada akhirnya, citra RS berbasis hijau di Indonesia semakin kuat dan positif, semakin terkenal, serta mampu bersaing di tingkat global,” ungkap Prof. Mahrinasari. (rls/c1/ful)