BANDARLAMPUNG - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam paparannya menyampaikan bahwa tingkat inflasi nasional September 2025 tercatat sebesar 2,65% (year-on-year) dan 0,21% (month-to-month).
Adapun inflasi Lampung pada periode yang sama sebesar 1,17% (year-on-year), menempati peringkat keempat terendah dari seluruh provinsi di Indonesia. Artinya, inflasi Lampung lebih rendah dari rata rata nasional.
Kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang inflasi bulanan terbesar, yakni 0,38% dengan andil terhadap inflasi 0,11%. Komoditas utama penyumbang inflasi di antaranya cabai merah, daging ayam ras, dan cabai hijau.
Selain itu, kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya juga mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan, terutama akibat meningkatnya harga emas perhiasan.
Sementara, jajaran Petinggi Pemprov Lampung mengikuti Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah secara daring yang digelar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Ruang Command Center Dinas Kominfotik Provinsi Lampung, Senin (6/10/2025).
Dalam arahannya, Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir meminta pemerintah daerah yang mengalami inflasi tinggi pada September 2025—di atas rentang sasaran inflasi nasional 1,5% hingga 3,5%—terutama daerah yang tidak memiliki hambatan distribusi, untuk segera melakukan pengecekan lapangan guna memastikan ketersediaan dan keterjangkauan harga bahan pokok bagi masyarakat.
Tomsi menekankan pentingnya langkah antisipatif berbasis data dalam pengendalian inflasi daerah. Ia meminta setiap pemerintah daerah untuk menganalisis tren harga selama tiga tahun terakhir guna memprediksi potensi kenaikan harga komoditas tertentu di bulan-bulan mendatang.
“Saya minta agar dipelajari data tiga tahun ke belakang, lalu dilihat dan dianalisis. Misalnya, jika bulan depan harga komoditas tertentu berpotensi naik, segera dilakukan langkah antisipatif, komunikasi, dan koordinasi agar harga tidak benar-benar naik. Ini baru namanya bekerja dengan perencanaan, bukan sekadar pemadam kebakaran,” ujar Tomsi Tohir.
Ia juga menegaskan pentingnya kesiapan daerah dalam menyusun standar operasional prosedur (SOP) pengendalian inflasi yang terukur dan berkelanjutan. Dengan demikian, upaya pengendalian tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga preventif melalui perencanaan yang matang.
“Kemampuan menilai berdasarkan pengalaman kerja di bidang masing-masing sangat penting untuk memprediksi kondisi ke depan. Daerah harus memiliki SOP dan standar kerja yang baik agar dapat melakukan pencegahan,” tambahnya.
Sebelumnya, Provinsi Lampung kembali mencatat inflasi pada Juni 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung mencatat inflasi bulan Juni mencapai 0,04 persen secara bulanan (month-to-month/m-to-m), menunjukkan adanya kenaikan harga barang dan jasa dibandingkan bulan sebelumnya.
Kendati tipis, angka ini menandai pergeseran signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Juni 2024) yang justru mengalami deflasi 0,11 persen. Artinya, tekanan inflasi mulai terasa di tengah masyarakat, terutama akibat naiknya harga kebutuhan pangan.
Statistisi Ahli Madya BPS Lampung Muhammad Ilham Salam menjelaskan kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya mengalami inflasi tertinggi sebesar 0,59 persen. Namun dari sisi kontribusi terhadap inflasi umum, kelompok makanan, minuman, dan tembakau tetap menjadi penyumbang utama. Kelompok ini mencatat inflasi 0,10 persen, dengan andil 0,03 persen terhadap inflasi umum. Adapun komoditas pemicu utama kenaikan harga di antaranya beras (0,06%), cabai rawit (0,04%), bawang merah (0,04%), tomat (0,04%), dan daging ayam ras (0,03%)
’’Komoditas-komoditas pangan ini menjadi pendorong utama inflasi, mengingat peranannya sebagai kebutuhan dasar masyarakat,” ujar Ilham, Rabu (2/7).
Di sisi lain, sejumlah komoditas berhasil menahan laju inflasi. Bawang putih menjadi penahan deflasi terbesar dengan andil -0,09 persen, disusul cabai merah (-0,06%), kangkung (-0,02%), jeruk (-0,02%), dan bensin (-0,02%).