Adapun berdasarkan catatan Badan Gizi Nasional (BGN) pada Januari hingga 22 September 2025, sudah terjadi 4.711 kasus keracunan MBG.
Dari data tersebut, kasus keracunan paling banyak terjadi di Pulau Jawa.
BGN membagi 4.711 kasus tersebut ke tiga wilayah, yakni Wilayah I mencapai 1.281 kasus, Wilayah II mencapai 2.606 kasus, dan Wilayah III meliputi 824 kasus.
"Jadi total catatan kami itu ada sekitar 4.711 porsi makan yang menimbulkan gangguan kesehatan," ujar Kepala BGN Dadan Hindayana dalam konferensi pers di Kantor Badan Gizi Nasional (BGN), Jakarta Pusat, Senin, 22 September 2025.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, akhirnya angkat bicara mengenai serangkaian kasus keracunan makanan yang menimpa ribuan pelajar peserta program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah.
Dadan mengklaim bahwa penyebab utama dari insiden berulang ini sebagian besar bersumber dari masalah teknis di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang baru beroperasi atau mengalami pergantian mendadak pemasok bahan baku.
Pernyataan ini muncul di tengah derasnya desakan dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR dan organisasi pemantau pendidikan, yang menuntut agar program MBG dihentikan sementara waktu untuk dievaluasi total.
Dadan Hindayana menjelaskan bahwa insiden keracunan sering kali terjadi pada SPPG baru yang belum memiliki pengalaman dan sistem operasional yang matang, atau yang sedang dalam tahap adaptasi.
"Jadi total status makanan kami itu ada sekitar 4.700 porsi makan yang menimbulkan gangguan kesehatan dan perlu anda ketahui bahwa sampai hari ini Badan Gizi Nasional sudah membuat 1 miliar porsi makan. Jadi 4.700 menimbulkan gangguan terhadap anak-anak dan itu kami sesalkan," ujar Dadan kepada wartawan, Kamis 25 September 2025.
"Tapi untuk SPPG lama kami ingatkan agar mengganti supplier juga hati-hati, karena penggantian supplier bisa berdampak yang luar biasa karena selama supplier lama aman ternyata dengan supplier baru tidak aman," tegasnya.
Dadan mencontohkan beberapa kasus, termasuk dugaan keracunan di daerah seperti Baubau, Sulawesi Tenggara, yang menurutnya terjadi karena SPPG yang sudah lama beroperasi tiba-tiba mengganti supplier bahan makanan tanpa melalui proses pengawasan kualitas dan kesiapan yang memadai.
Pergantian mendadak ini, lanjutnya, sering kali menimbulkan masalah dalam rantai pasok dan standar higienitas.
Selain itu, Dadan juga menyoroti kasus di Cipongkor, Bandung Barat, di mana temuan awal menunjukkan adanya kesalahan teknis dalam manajemen waktu, yakni memasak makanan terlalu awal, sehingga terjadi kontaminasi mikrobiologi sebelum makanan dikonsumsi oleh siswa. (pip/c1/abd)