Permintaan Tapioka Global Anjlok, Harga Singkong Nasional Terus Merosot, Petani Diminta Waspada

Rabu 20 Aug 2025 - 21:06 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto

BANDARLAMPUNG – Anjloknya permintaan tapioka di pasar internasional sepanjang 2024–2025 berdampak langsung pada turunnya harga singkong di tingkat petani. Tren ini terjadi tidak hanya di Lampung, tetapi juga di berbagai sentra produksi nasional.

Di Lampung, harga singkong yang semula ditetapkan pemerintah Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 30 persen, kini justru dipotong hingga 40 persen. Akibatnya, petani hanya menerima Rp1.000–1.100 per kilogram, jauh dari harapan.

Harga tepung tapioka juga merosot. Jika pada akhir 2024 masih berkisar Rp5.600/kg, kini turun menjadi Rp4.500/kg bahkan lebih rendah. Kondisi ini diperparah dengan stok tapioka Lampung yang menumpuk hingga 400 ribu ton karena minimnya penyerapan pasar.

Lampung menjadi episentrum industri tapioka nasional dengan luas tanam ubi kayu 239.994 hektare dan produksi 7,16 juta ton pada 2024. Dari jumlah itu, sekitar 1,79 juta ton diolah menjadi tepung tapioka dengan nilai produksi mencapai Rp10,7 triliun. Saat ini terdapat 67 industri tapioka tersebar di sembilan kabupaten, dengan dominasi di Lampung Tengah.

Sejumlah perusahaan besar seperti PT Budi Acid Jaya, PT Florindo Makmur, PT Umas Jaya Agrotama, hingga PT Sinar Pematang Mulia II menjadi motor utama produksi. PT Sinar Pematang Mulia II sendiri mampu memproduksi hingga 500 ton tapioka per hari.

Asosiasi Perdagangan Tapioka Thailand mencatat harga ekspor turun dari US$568/ton (awal 2024) menjadi US$405–450/ton pada Agustus 2025. Penurunan ini menekan industri dalam negeri dan membuat harga singkong petani kian anjlok.

Meski Gubernur Lampung telah mengeluarkan Instruksi Nomor 2/2025 tentang harga singkong Rp1.350/kg, di lapangan harga riil jatuh ke kisaran Rp1.000–1.100/kg sejak April 2025.

Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Lampung, Helmi Hasanuddin, memprediksi harga singkong bisa terus melemah hingga awal 2026. Ia menilai kemitraan konkret antara petani, pemerintah, BUMN, dan swasta menjadi solusi utama.

Selain itu, Helmi juga membuka opsi diversifikasi tanaman ke jagung, dengan catatan berbasis ekosistem bisnis terintegrasi. “Petani bisa alih tanam, tapi harus didukung fasilitas pengering skala kecamatan serta kemitraan dengan UMKM pakan dan peternak dalam pola bisnis close loop,” katanya.

Sekretaris Himpunan Perusahaan Tepung Tapioka Indonesia (HPPTI), Tigor Silitonga, menilai tren penurunan permintaan kertas akibat digitalisasi berimbas langsung pada pasar tapioka.

“Karena konsumsi kertas berkurang, permintaan tapioka juga menurun. Ini membuat harga singkong di tingkat petani semakin tertekan,” ujarnya.

Tigor menekankan pentingnya proteksi pasar dalam negeri lewat pembatasan impor dan peningkatan produktivitas petani. Ia menilai diversifikasi ke jagung tidak bisa menjadi solusi cepat karena membutuhkan perawatan intensif dan rentan hama.

Meski demikian, pemerintah pusat telah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung Rp5.500/kg dengan target penyerapan Bulog 1 juta ton pada 2025. Hal ini membuka peluang bagi petani yang ingin mencoba rotasi tanaman.

Namun, baik MSI maupun HPPTI sepakat bahwa singkong tetap akan menjadi komoditas unggulan Lampung. Jalan panjang yang harus ditempuh adalah memperkuat industri tapioka melalui efisiensi, proteksi pasar, serta pola kemitraan berkelanjutan antara petani dan industri. (rls/c1/abd) 

 

Kategori :