SR Jangan Sebatas Jalani Program Nawacita Presiden

Senin 19 May 2025 - 21:01 WIB
Reporter : Anggi Rhaisa
Editor : Syaiful Mahrum

BANDARLAMPUNG – Pemerintah Provinsi Lampung berencana mendirikan Sekolah Rakyat (SR). Di mana lokasi pendirian SR di Lampung Tengah dan Kotabaru, Lampung Selatan.

Rencana ini mendapat sorotan pemerhati pendidikan dan anak di Lampung. Pemerhati pendidikan Gino Vanollie, S.Pd., M.H. menyampaikan bahwa SR menjadi program unggulan Presiden Prabowo Subianto di setiap provinsi. ’’Kami menyambut baik program pemerintah untuk perluas akses pendidikan, mencoba cari jalan lain. Bagaimana cara mengentaskan rantai kemiskinan untuk menjadi lebih baik nasibnya ke depan," katanya.

 

Dari hal tersebut, kata Gino, yang ditangkap adalah mobilitas dari rendah (miskin) menuju level lebih tinggi dan sejahtera itu lebih banyak dipengaruhi ilmu pengetahuan.  "Jadi mobilitas masyarakat akan dipengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat. Kita percaya bahwa teknis ini," ujarnya.

 

Karena itu, kata Gino, ketika pemerintah punya program peningkatan akses pendidikan tentunya setuju. ’’Tapi, SR itu diperlukan atau seberapa urgen? Apalagi dikelola oleh Kementerian Sosial di luar Kementerian Pendidikan. Ini perlu dikritisi. Sekolah yang ada saat ini kan sejati sudah sekolah inklusi. Sekolah yang bisa menampung seluruh strata masyarakat tanpa terkecuali, baik itu miskin atau kaya atau dalam kondisi apa pun. Kecuali anak-anak punya kebutuhan khusus disekolahkan di sekolah luar biasa (SLB). Artinya, tidak ada diskriminatif di situ. Justru ketika kita membangun entitas baru yang namanya SR, sebenarnya labelling ini sudah diskriminatif. Sekolah lain sekolah apa?" ungkapnya.

 

’’Coba kita belajar dari Amerika, ada sekolah ter-segregasi (dipisahkan) antara sekolah kulit putih dengan kulit hitam. Perkembangannya bagaimana? Ini tidak bagus karena ter-segregasi dalam sekolah tersebut adalah pelanggaran HAM (hak asasi manusia). Ada dugaan tindak diskriminatif. Jangan sampai pemerintah melakukan hal yang sama! Tujuan bagus, mengkhususkan anak-anak ini dari miskin ekstrem, difasilitasi, dikasih asrama, dan disekolahkan dengan baik, tapi justru menjadi eksklusif," sambung Gino.

 

Seperti dulu ada RSBI atau sekolah rintisan berbasis internasional, kata Gino, itu perdebatan panjang karena RSBI tempat anak bupati, wali kota, kaum berpunya, anak-anak cantik, bersih, rapi, dan lainnya sehingga terkesan jadi sekolah elite.

 

"Siapa anak tukang pecel, tukang pemulung, ada di sekolah pinggiran. Akhirnya, secara tidak sadar kita disegrasi kembali. Padahal, kita ingin sekolah membangun plurarisme anak-anak perbedaan terbiasanya hetegorenitas. Seharusnya sekolah itu sebagai tempat pembentukan karakter yang plurarisme, lebih heterogen. Kalau ada disegrasi, kemudian mereka khusus, tentunya mereka tidak bisa bergaul dengan kelompok lain,’’ kata Gino.

 

Gino berharap pemerintah perlu memberikan penjelasan yang konkret lagi mengenai SR. ’’Apalagi bantuan anak miskin dari pemerintah kan ada KIP, PKH, PIP, dan lainnya. Apakah tidak overlap? Jangan sampai pemerintah menciptakan persoalan kembali dengan hadirnya SR,’’ tegasnya.

 

Tags :
Kategori :

Terkait