Transformasi Ekonomi ala Prabowonomics: Solusi atau Delusi?

Jumat 04 Apr 2025 - 20:43 WIB
Reporter : Tim Redaksi
Editor : Tim Redaksi

 

Namun, tidak seperti Soemitro yang fleksibel dalam membaca perubahan zaman, Prabowo tampaknya lebih keukeuh pada konsep ekonomi yang cenderung memberikan peran lebih dominan kepada negara, seakan ingin mereduksi peran sektor swasta, dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia –terutama pasca terbentuknya Danantara– dan mengontrol ruang bagi geliat dinamika pasar. 

 

Pertanyaannya, apakah strategi itu akan berhasil membawa Indonesia ke arah yang lebih baik atau hanya mengulang kegagalan historis sang ayahanda?

 

INDUSTRI BERBASIS NILAI TAMBAH

 

Fundamental ekonomi Indonesia beberapa dekade terlalu bergantung pada basis komoditas yang minim inovasi dan tanpa nilai tambah. Misalnya, penerimaan negara dari ekspor yang masih didominasi komoditas batu bara, crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah, dan nikel. 

 

Deindustrialisasi dan perlambatan ekonomi yang terjadi pasca-commodity boom atau era tingginya harga dan permintaan komoditas sumber daya alam (SDA) pada era 2009–2014 seharusnya menjadi alarm bahwa Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada ekspor bahan mentah. 

 

Padahal, harga komoditas selalu fluktuatif mengikuti ritme harga pasar global. Ketika harga komoditas jatuh, penerimaan negara sektor SDA akan menurun drastis. Konsekuensinya, Indonesia kembali mengandalkan sektor konsumsi rumah tangga untuk menopang perekonomiannya. 

 

Melalui terobosan prabowonomics dengan menekankan pentingnya hilirisasi sumber daya alam, yakni memaksimalkan pengolahan hasil sumber daya di dalam negeri, alih-alih hanya mengekspor bahan mentah. 

 

Kebijakan itu bertujuan menciptakan nilai tambah, membuka ribuan bahkan jutaan lapangan kerja, dan meningkatkan penerimaan negara. Nilai tambah yang diperoleh dari kebijakan hilirisasi memang memiliki dampak besar. 

Tags :
Kategori :

Terkait