JAKARTA - Pemerintah tengah mempercepat implementasi reformasi kebijakan pupuk bersubsidi menjadi bantuan langsung pupuk (BLP). Integrasi data lahan baku sawah (LBS) dari Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian ATR/BPN, dan Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai perlu dalam implementasi kebijakan BLP ini.
Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori melihat, Sensus Pertanian 2023 (ST2023) menyediakan identitas unit usaha pertanian lengkap dengan lokasi secara spasial. Di samping itu, data ST2023 juga menunjukkan lokasi lahan pertanian dan volume usaha tani.
Khudori menyebut, informasi geospasial memungkinkan penyajian data by name by address untuk menyediakan data yang akurat. Data geospasial ini, menurutnya, bisa diintegrasikan dengan data peta status hara lahan dan rekomendasi pemupukan.
“Ini bisa jadi solusi berbagai masalah tidak akuratnya penyaluran subsidi pupuk dan penggunaan pupuk berlebih,” kata Khudori dalam sesi diskusi kegiatan Diseminasi Hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap 1, Senin lalu.
ST2023, jelas Khudori, menyediakan identitas unit usaha pertanian dilengkapi lokasi secara spasial, baik lokasi lahan maupun volume usaha tani. Juga, lahan beririgasi.
Di sisi lain, Kementan memiliki database kelompok tani di seluruh Indonesia yang terhimpun dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian (Simluhan). Akan tetapi, database ini belum dilengkapi data spasial.
“Dengan adanya data-data dari Sensus Pertanian 2023 ini, selain kita bisa update lahan baku sawah, kita juga bisa gunakan untuk membuat kebijakan bagaimana melindungi lahan pertanian yang sudah ditetapkan sebagai lahan sawah dilindungi,” lanjutnya.
Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, luas lahan baku sawah (LBS) pada 2019 mencapai 7,46 juta hektare (Ha). Namun, dari luasan tersebut, sekitar 300 ribu Ha diantaranya dikonversi. Menurut Khudori, hal ini terjadi lantaran antara Kementan dan ATR/BPN belum satu suara soal beberapa wilayah yang masuk kategori bisa dikonversi.
Oleh karenanya, lanjut Khudori, integrasi data antar kementerian/lembaga penting dilakukan guna memastikan pemerintah mampu membuat kebijakan yang melindungi LBS. “Problemnya adalah kalau kita ikuti aturan yang ada, termasuk Undang-undang Cipta Kerja dan aturan turunannya, itu memberikan keleluasaan yang sangat besar, karpet merah kepada investor, atau pelaku usaha untuk melakukan konversi,” kata Khudori.
Dalam kesempatan sama, Pengamat Ekonomi Pertanian, Bustanul Arifin menuturkan, reformasi subsidi pupuk dilakukan dengan mengubah subsidi produksi pupuk atau subsidi barang (subsidi harga gas ke industri pupuk) menjadi BLP. Ini akan diimplementasikan pada 2024.
“Ketika nanti bantuan langsung ke petani, BLP ini basisnya itu (LBS). Tentu KTP, tapi apa betul luasannya segitu (dilihat dari LBS),” jelas Ketua Umum Pengurus Pusat Perhepi ini.
Skema BLP, tutur Bustanul, tentu bukan dimaksudkan untuk menyederhanakan persoalan. Tapi, untuk menyeimbangkan antara ketersediaan anggaran, ketepatan sasaran, dan visi produktivitas.
“Idealnya, BLP diberikan kepada petani kecil dengan impact factor tinggi,” imbuh Guru Besar UNILA ini.
BLP bertujuan untuk meningkatkan daya beli petani guna mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanamannya. Dari sisi supply, skema ini menyempurnakan sistem manajemen produksi, rantai nilai dan sistem distribusi pupuk dalam menjamin governansi internal dan eksternal.
Sedangkan dari sisi demand, skema ini sebagai antisipasi adanya peningkatan permintaan pupuk nonsubsidi untuk perkebunan dan tujuan pembangunan berkelanjutan masa depan. “BLP akan menggunakan harga pupuk tunggal. Saat ini sedang dirumuskan apakah harga tingkat kios, tingkat provinsi, regional, atau tingkat nasional,” kata alumnus IPB ini.