Dengan melatih diri menolak pikiran jahat, kita memperkuat akal budi agar mampu mengendalikan hawa nafsu dan keinginan yang merusak. Setiap kali seseorang berhasil menolak godaan berbuat jahat, ia memperkokoh fondasi karakter moralnya, sehingga semakin mampu bertindak sesuai prinsip keadilan dan kebaikan.
Berbuat yang tidak jahat sudah selayaknya menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan manusia Indonesia. Konsep ini tidak rumit, cukup sederhana—hanya dengan tidak berbuat jahat.
Bukankah filsafat dasar negara kita telah mencerminkan nilai luhur nan indah, yang tak memberi ruang bagi perbuatan jahat terhadap sesama maupun alam? Pancasila mengajarkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menegaskan bahwa kesejahteraan bersama lahir dari penghormatan atas hak dan martabat setiap individu.
Prinsip ini selaras dengan pemikiran Aristoteles, yang memandang kebaikan sejati sebagai harmoni antara keindahan moral dan manfaat praktis dalam kehidupan.
Dengan membiasakan diri menolak segala perbuatan jahat, manusia Indonesia dapat membangun keadilan yang harmonis dalam relasi sosial dan menjaga keseimbangan alam. Maka, perjalanan kolektif bangsa ini perlu disertai komitmen melatih moralitas, agar tercipta kehidupan yang beradab dan bermartabat.
Mencari Akar Perbuatan Jahat
Mengapa seseorang berbuat jahat tentu punya ragam sebab, selain lingkungan bahkan kecenderungan asali berbuat jahat. Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) meyakini bahwa manusia dalam kondisi alaminya memiliki naluri egois yang cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, yang jika tidak dikendalikan akan menciptakan konflik sosial.
Sebaliknya, Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse on the Origin of Inequality (1755) berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, tetapi menjadi rusak akibat pengaruh lingkungan sosial yang tidak adil. Penelitian dalam psikologi modern, seperti yang diungkapkan Albert Bandura dalam konsep Moral Disengagement (1999), menunjukkan bahwa trauma, tekanan sosial, dan rasa ketidakberdayaan sering mendorong seseorang melakukan tindakan jahat.
Sementara itu, Kant dalam Religion within the Boundaries of Mere Reason (1793) menyatakan bahwa kejahatan tidak semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan atau naluri, melainkan berasal dari kebebasan manusia dalam menentukan kehendaknya.