“Untuk menjamin keadilan, amnesti bagi pengguna narkotika harus didukung dengan pengesahan revisi Undang-Undang Narkotika yang mengatur dekriminalisasi pengguna narkotika,” ungkapnya.
Terkait amnesti bagi narapidana yang terjerat kasus penghinaan presiden, ICJR mengusulkan agar kriminalisasi penghinaan terhadap presiden dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru dihapuskan.
Mengenai narapidana yang akan diberikan amnesti karena sakit, Maidina mengingatkan pentingnya mempertimbangkan tindak pidana yang dilakukan oleh warga binaan tersebut. Mengingat pemberian amnesti mengarah pada penghapusan hukuman pidana, ICJR berpendapat bahwa jika narapidana terlibat dalam tindak pidana umum dengan korban yang teridentifikasi, seharusnya yang lebih tepat adalah grasi atau pengampunan presiden, bukan penghapusan pidana melalui amnesti.
Namun, Maidina juga menyoroti rencana pemerintah untuk memanfaatkan narapidana yang diberi amnesti sebagai tenaga kerja swasembada pangan dan komponen cadangan (komcad). ICJR menilai rencana ini berpotensi eksploitatif.
“Jika narapidana tersebut diberikan kesempatan kerja sebagai bagian dari pembinaan, hak atas upah pekerjaannya harus dibayarkan. Hal ini bahkan dapat dilakukan tanpa harus bergantung pada rencana amnesti,” tegas Maidina.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas dengan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan pada Jumat (13/12). Salah satu topik yang dibahas adalah pemberian amnesti kepada narapidana tertentu.
Menurut data Kementerian Hukum dan HAM, sekitar 44.000 narapidana memenuhi kriteria untuk diusulkan mendapatkan amnesti. Namun, angka pastinya masih dalam proses asesmen dan akan dipertimbangkan oleh DPR.
Diketahui Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, berencana memberikan amnesti kepada sejumlah narapidana, dengan pertimbangan hak asasi manusia (HAM) dan semangat rekonsiliasi. Keputusan ini juga terkait dengan upaya mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, mengungkapkan bahwa narapidana yang akan menerima amnesti mencakup mereka yang ditahan terkait kasus politik, pelanggaran UU ITE, narapidana pengidap penyakit berkepanjangan dan gangguan jiwa, serta mereka yang mengidap HIV/AIDS dan memerlukan perawatan khusus. Selain itu, pengguna narkotika yang lebih cocok menjalani rehabilitasi juga akan menjadi sasaran amnesti.
“Terkait amnesti ini, salah satu pertimbangan utamanya adalah aspek kemanusiaan dan semangat rekonsiliasi. Presiden memiliki perhatian pada aspek tersebut, yang mencerminkan keputusan politik yang humanis berdasarkan Hak Asasi Manusia, sebagaimana tercantum dalam poin pertama Asta Cita,” kata Pigai dalam keterangan pers, Minggu (15/12).
Pigai juga menambahkan bahwa narapidana yang terkait dengan kasus penghinaan terhadap kepala negara, yang melibatkan UU ITE, sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hal ini juga berlaku bagi narapidana terkait kasus Papua, orang yang sudah lanjut usia, anak-anak, serta mereka yang sudah mengidap penyakit berkepanjangan atau gangguan jiwa dan membutuhkan pengampunan.
“Semua ini berkaitan dengan aspek kemanusiaan dan rekonsiliasi. Kasus-kasus yang terkait dengan UU ITE adalah masalah HAM, begitu pula dengan narapidana yang sakit berkepanjangan. Presiden memberi perhatian khusus pada aspek-aspek HAM dalam pengambilan keputusannya,” ujarnya. (disway/c1/abd)