JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto memberikan kesempatan bagi para koruptor untuk bertobat, dengan syarat mengembalikan seluruh hasil korupsi kepada negara.
Prabowo menjelaskan bahwa ia mungkin memaafkan para koruptor jika mereka mengembalikan uang negara yang telah dicuri.
’’Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, memberi kesempatan untuk tobat,” kata Prabowo saat bertemu dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Mesir, Kamis (19/12).
“Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong,” tegas Prabowo.
Presiden Indonesia itu menambahkan bahwa pengembalian aset negara dapat dilakukan secara diam-diam dalam waktu beberapa minggu atau bulan mendatang, meski ia tidak memberikan tenggat waktu yang spesifik.
Selain itu, Prabowo juga mengingatkan pihak-pihak yang telah menerima fasilitas dari negara untuk membayar kewajiban mereka.
“Kemudian, hai kalian-kalian yang sudah menerima fasilitas dari bangsa dan negara, bayarlah kewajibanmu,” ungkapnya.
“Asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, kita bisa fokus pada masa depan. Kita tidak akan mengungkit yang dulu,” tambah Prabowo Subianto.
Lebih lanjut, Prabowo menegur aparat penegak hukum dan mengajak mereka untuk taat kepada negara. Ia menegaskan bahwa ia tidak akan segan-segan untuk membersihkan aparat yang terlibat dalam penyelewengan.
“Jika tidak, percayalah, saya akan bersihkan aparat Republik Indonesia ini. Saya yakin dan percaya rakyat Indonesia berada di belakang saya,” tegas Prabowo.
Sebelumnya, Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengungkapkan bahwa rencana Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada sekitar 44.000 narapidana harus dilaksanakan dengan penuh akuntabilitas dan transparansi.
’’ICJR mendukung langkah-langkah yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM). Namun, kami menekankan bahwa proses pemberian amnesti harus dilakukan secara akuntabel dan transparan,” kata Maidina dalam keterangan pers yang diterima ANTARA, Minggu (15/12).
Menurut Maidina, pemberian amnesti harus berbasis kebijakan yang dapat diakses oleh publik, agar masyarakat dapat menilai dan mengkritisi keputusan tersebut. Proses pemberian amnesti juga perlu dirumuskan dalam bentuk peraturan, setidaknya setara dengan peraturan menteri, untuk menjamin standardisasi dalam pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti.
“Penilaian harus berlandaskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan,” tambah Maidina.
ICJR mendukung pemberian amnesti kepada narapidana pengguna narkotika, terutama bagi mereka yang terjerat kasus narkoba untuk kepentingan pribadi. Maidina menyebutkan bahwa ICJR sudah lama mengusulkan agar pengguna narkotika dikeluarkan dari pemenjaraan.