Bahan Baku Sulit Didapat, Industri Briket Banyak yang Kolaps

Kamis 19 Dec 2024 - 13:21 WIB
Reporter : Rizky Panchanov
Editor : Rizky Panchanov

JAKARTA - Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) mengungkapkan, ada ratusan industri pengolahan kelapa di Indonesia yang sedang terguncang akibat maraknya ekspor bahan baku kelapa. Sejumlah industri bahkan harus berhenti beroperasi.

Wakil Ketua Bidang Briket, Arang, dan Karbon Aktif Hipki Erwan menjelaskan, salah satu industri pengolahan kelapa yang paling terdampak yakni industri briket yang membutuhkan kelapa sebagai bahan bakunya.

Ia mencontohkan, jumlah industri briket yang ada di Indonesia ada di angka sekitar 500 pabrik dari skala kecil hingga menengah pada tahun 2023. Tetapim, sejumlah industri briket kolaps dan jumlahnya turun sampai 50 persen.

Erwan menjelaskan salah satu faktor utama yang membuat ratusan industri pengolahan kelapa kolaps disebabkan karena longgarnya tata niaga kelapa, terutama terkait ekspor kelapa di Indonesia sehingga berujung pada ekspor bahan baku yang tidak terkontrol.

Situasi ini kemudian berdampak pada pasokan bahan baku kelapa dalam negeri yang menurun drastis, kemudian membuat industri pengolahan kelapa tidak bisa maksimal dalam memproduksi produk-produk turunan kelapa, sehingga mengalami kerugian.

"Saat ini (pabrik briket) jumlahnya itu hanya berkisar 200 sampai 250 pabrik, sisanya sudah tutup. Yang masih beroperasi itu nasibnya sama seperti pabrik saya, yang utilisasinya itu hanya sekitar 20 persen Itu pun kami hanya bisa produksi 1 sampai 2 bulan ke depan karena bahan bakunya sudah tidak ada," kata Erwan di Jakarta.

Ia menjelaskan, bila ekspor kelapa bisa dikontrol hingga menjaga pasokan kelapa dalam negeri, maka petani bisa memanfaatkan tempurung kelapa untuk dibeli oleh industri briket maupun industri karbon aktif.

Tetapi, kondisi tersebut tidak terjadi karena faktanya justru kelapa diekspor ke luar negeri.

Menurut catatan HIPKI, saat ini terjadi pembiaran ekspor kelapa baik secara resmi maupun ilegal ke berbagai negara terutama Tiongkok, Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

Kondisi ini pun membuat pasokan kelapa langka, harga kelapa menjadi tinggi, hingga membuat petani dan industri merana.

Berdasarkan asumsi perhitungan Hipki dengan kenaikan harga kelapa yang semula berkisar Rp 6.000-Rp 8.000, dan kini menjadi Rp 12.000-Rp 14.000 per butir akan menyebabkan inflasi sebesar Rp 10,8 triliun.

"Kami memberikan manfaat ke petani-petani yang mengambil daging kelapa itu, tempurungnya mereka bakar. Setelah mereka bakar itu, barulah dibeli oleh pengepul biasanya dan dijual ke pabrik-pabrik kami. Jadi efeknya itu luar biasa apabila kami bisa berjalan maksimal utilisasi kami. Otomatis efek ekonomi di tingkat petani itu bisa tumbuh dan berkembang," ucap Erwan.

Catatan Hipki juga menunjukkan beberapa industri pengolahan kelapa lainnya di ambang berhenti beroperasi mengingat kapasitas berjalan (running capacity) industri menurun di angka 20%-30%

Hipki, berharap pemerintah bisa memperbaiki tata niaga kelapa, termasuk membatasi ekspor bahan baku. Hal ini penting untuk dilakukan agar industri pengolahan kelapa dapat terus beroperasi dan meningkatkan dampak ekonomi.

Pemerintah kata Erwan harus segera mencari solusi untuk mengatasi hal tersebut.

Adapun usulan yang Hipki dorong antara lain adalah agar pemerintah dapat menerapkan kebijakan moratorium ekspor kelapa pada 3-6 bulan ke depan, menerapkan PE (pembatasan ekspor), atau menentukan kuota ekspor.

Kategori :