JAKARTA – Pengamat ekonomi menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025 akan membuat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin besar.
Sebelumnya besaran PPN adalah 11 persen. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengungkapkan.
Kenaikan PPN nantinya bisa memberi efek domino, seperti membuat harga kebutuhan naik, dan mengerek angka inflasi, serta daya beli masyarakat akan melemah seiring penurunan pendapatan, hingga penurunan permintaan.
"Potensinya ke arah sana (gelombang PHK makin besar), karena kenaikan PPN menjadi 12% ini juga akan cenderung menurunkan ekspor sekitar 1,41%. Kemudian, juga pendapatan riil akan menurun sebesar 0,96%, angka pengangguran akan meningkat 0,94%. Ini adalah hasil hitungan dari Indef," ungkapnya, saat dihubungi Beritasatu (jejaring Disway grup Radar Lampung), Minggu 17 November 2024.
Lebih jauh kata Esther, potensi gelombang PHK ini bisa menjadi merata di seluruh sektor.
Pasalnya, kenaikan PPN sebesar satu persen dari dari 11% menjadi 12% ini akan menambahkan biaya produksi perusahaan, sehingga memengaruhi harga produk dan permintaan masyarakat.
"Berdampak ke semua sektor karena tarif pajak 1% itu ditambahkan ke harga produk tersebut. Nah ini dampaknya ke sektor jasa perusahaan misalnya 0,81%. Kemudian ke sektor akomodasi makanan minuman itu 0,71%. Ke manufaktur industri ya itu 0,60%, d an seterusnya," ujarnya.
Menurut Esther, kenaikan PPN ini memicu perekonomian semakin terkontraksi. Berkaca pada keputusan pemerintah pada April 2022, kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% faktanya kata dia mendorong inflasi sebesar 0,95%.
"Jadi peningkatan PPN 1% itu berpotensi mendorong inflasi pada tahun 2025 nanti," katanya.
Kemudian, tingginya inflasi berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat dan daya beli masyarakat terpangkas karena masyarakat cenderung menahan belanja.
"Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang didorong konsumsi rumah tangga akan melambat karena ada kenaikan PPN menjadi 12%," tambahnya.
Bila konsumsi rumah tangga menurun, pengangguran berpotensi bertambah karena perusahaan tidak mampu bertahan.
"Perusahaan demand (permintaannya) akan turun, karena daya beli masyarakat, mereka akan mengurangi produksi dan kemungkinan akan melakukan lay off tenaga kerja atau efisiensi dalam bentuk lain," jelasnya.
Diketahui Analisa Ekonom dan Head of Research Group Celios Bhima Yudhistira juga mengungkapkan hal yang sama.
Ia menjelaskan, pemerintah harus memikirkan ulang rencana kenaikan tarif (PPN) 12% karena bisa mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.