Dari analisis data survei, bisa dilihat sebuah pergeseran luar biasa. Bambang Iman Santoso, yang pada Agustus hanya memperoleh 28,6% dukungan, tiba-tiba melesat menjadi 52,60% dalam survei terbaru. Ini adalah lonjakan yang mengejutkan, sebesar 24%, menandakan bahwa pemilih mulai beralih arah dengan mantap.
BACA JUGA: IIB Darmajaya Terima Bantuan Program Riset Inovasi Pembelajaran
Sebaliknya, elektabilitas Wahdi hanya mengalami sedikit peningkatan. Dari 37,77% di survei Agustus menjadi 38,00% di survei Oktober, tetapi secara relatif tidak sebanding dengan lonjakan yang dialami oleh Bambang.
Penurunan ini bisa disebabkan oleh berbagai alasan seperti isu-isu negatif yang mungkin muncul, kurangnya resonansi program dengan pemilih, atau kurang efektifnya strategi kampanye. Ini juga menunjukkan bahwa ada persoalan bagi Wahdi untuk menarik pemilih baru, dia berpotensi kehilangan dukungan yang sudah ada.
Swing Voters Mulai Memutuskan
Temuan menarik lainnya, pada survei Agustus, jumlah massa mengambang (swing voters) atau yang belum memutuskan pilihannya sebanyak 34,18% , sedangkan pada Oktober angka ini menurun drastis menjadi 9,40%.
Ini menunjukkan bahwa banyak pemilih yang sebelumnya ragu telah membuat keputusan. Banyak faktor yang bisa menjadi pemicu. Peningkatan dukungan mungkin mencerminkan keberhasilan dalam strategi kampanye yang lebih efektif, termasuk komunikasi yang lebih baik tentang visi dan misi, serta program-program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Ada upaya yang massif untuk memperbaiki citra publik Bambang melalui kegiatan sosial atau penyelesaian masalah lokal, hal ini dapat meningkatkan persepsi positif pemilih.
BACA JUGA:Merauke Diplot Jadi Sentra Produksi Pangan
Dari survei Litbang RLMG ini, jelas terlihat bahwa perubahan dalam politik bisa sangat cepat dan dinamis. Survei ini menunjukkan bahwa meskipun Bambang Iman Santoso didukung oleh satu partai, ia berhasil menciptakan momentum yang kuat dan menarik perhatian pemilih.
Ini adalah pelajaran bahwa kualitas kampanye dan hubungan dengan pemilih seringkali lebih penting daripada jumlah partai pendukung.
Sementara, Wahdi Siradjuddin harus mengevaluasi strategi dan komunikasi kampanyenya. Dengan banyaknya partai di belakangnya, ia seharusnya bisa memanfaatkan sumber daya ini untuk menggalang dukungan yang lebih luas. Jika tidak, risiko kehilangan dukungan akan semakin besar. (rie)